PILKADA SERENTAK 2015

Mengenal Sekilas Persidangan Gugatan Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi

Etis Nehe | Dok. Pribadi

Etis Nehe | Dok. Pribadi

Etis Nehe*

——————

Catatan: Tulisan ini sekadar bahan edukasi masyarakat mengenai gambaran singkat persidangan gugatan hasil Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak mewakili lembaga manapun, termasuk MK. Hanya berdasarkan pengalaman penulis yang pernah meliput berbagai persidangan gugatan hasil pemilu di MK, di antaranya, pemilu legislatif 2009, Pilpres 2009 Megawati-Prabowo vs SBY – Boediono dan gugatan Pilkada Pulau Nias pada 2011.

——————

Yang Menang Yang Dilantik

Keriuhan Pilkada di Pulau Nias sebenarnya secara perlahan mulai redup. Tak lagi banyak eforia di sana-sini. Bahkan, kelompok pasangan calon pemenang pilkada pun sudah tidak lagi segembira sebelumnya. Tidak banyak lagi yang harus diteriakkan, kecuali bila nanti pasangan yang mereka dukung dilantik, lalu bertugas.

Namun sebaliknya bagi pasangan yang kalah. Sebagian memang sudah menyerah secara sadar. Sebagian lagi masih berusaha meyakinkan diri bahwa mereka adalah pemenang sebenarnya dan yang dinyatakan pemenang itu adalah yang kalah. Bahkan ada yang berusaha dengan cara berlebihan meyakinkan masyarakat dengan mengatakan bahwa merekalah yang akan dilantik meski yang menang adalah pasangan lain.

Aneh memang. Tapi itu memang keanehan musiman. Keanehan setiap musim pemilu/pilkada. Jadi itu hal biasa saja. Tidak perlu ditanggapi serius. Nanti reda dengan sendirinya.

Empat pasangan kalah di Pilkada Nias menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kabar baiknya, tahap awal gugatan mereka berhasil lewati. Berkas gugatan dinyatakan lengkap.

Nah, ini pun bisa dimanfaatkan sebagai ‘jualan’ lagi seolah-olah kemenangan sudah di depan mata. Tinggal diambil dan digunakan. Dilantik. Masyarakat yang sebagian besar tidak tahu menahu seluk beluk persidangan gugatan di MK tak sedikit yang termakan ‘kampanye’: “mereka menang, kami yang dilantik” itu.’ Padahal, kalau saja masyarakat mendapatkan pemahaman yang cukup, mereka tidak perlu kuatir terlalu jauh mengenai hasil akhir Pilkada tersebut.

Karena itu, agar tidak ikut tergiring, lalu termakan isu yang tidak berdasar alias ngaco, mari belajar beberapa hal di bawah ini supaya tidak terus dibikin galau.

PERTAMA, yang pasti akan dilantik sebagai kepala daerah adalah yang resmi dinyatakan menang, baik oleh KPUD maupun oleh MK. Jadi bukan yang resmi dinyatakan kalah yang akan dilantik. Kalau ada yang mengatakan bahwa mereka yang akan dilantik meski pihak lain yang dinyatakan menang, maka orang-orang itu tidak hanya malas berpikir, kemungkinan sedang mengalami masalah lain karena merasa tertekan akibat hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan.

Sama juga halnya dengan slogan “dipilih atau tidak dipilih pasti menang.” Ini juga logika yang sangat kacau. Tapi itu bisa dimaklumi. Itu sebenarnya sekadar slogan pembakar semangat saja menjelang pertarungan. Itu hal biasa dalam masa kampanye. Tapi yang benar adalah yang dipilih dengan suara terbanyak itulah yang menang. Dan yang kalah adalah meski dipilih juga tapi suaranya tidak sebanyak suara pemenang. Apakah kemenangan itu nanti dikukuhkan melalui keputusan MK itu tak mengubah kenyataan bahwa yang menanglah yang akan dilantik, bukan yang kalah.

Tapi, mungkinkah yang kalah tetap dilantik dan yang menang tidak dilantik? Mungkin saja. Iya, sangat mungkin. Bagaimana bisa begitu?

Berikut beberapa kemungkinannya. “Mereka yang menang, kami yang dilantik” itu mungkin terjadi bila:

  1. Pasangan yang menang melakukan pelanggaran-pelanggaran fatal yang berakibat terjadinya diskualifikasi atau pengguguran sebagai peserta pilkada. Dalam bahasa klasik MK, terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan massif. Aturan lain menyebutkan secara spesifik pelanggaran yang bisa menyebabkan diskualifikasi meski menang adalah bila terbukti melakukan politik uang dan atau melakukan pelanggaran fatal pada laporan keuangan kampanye karena tidak bisa dipertanggungjawabkan.
  2. Kemungkinan kedua adalah kalau pasangan yang kalah itu melakukan segala upaya curang untuk mengalahkan pasangan yang telah dinyatakan menang. Ini hanya mungkin dengan kolaborasi jahat dengan pengadilan. Ini biasanya tidak gratis, bisa melibatkan aksi suap bin sogok. Untuk hal kedua ini, tampaknya tidak mudah melakukannya di tengah sorotan ketat kepada MK agar kasus Akil Mochtar tidak terulang kembali.
Persidangan MK

Suasana Persidangan di Mahkamah Konstitusi (Humas MK)

Persidangan MK

KEDUA, mari pahami prosedur persidangan gugatan hasil pemilu di MK. Persidangan di MK itu, khusus sengketa hasil Pemilu/Pilkada mirip dengan persidangan di pengadilan umum. Penggugat dan tergugat hadir di ruang sidang bersamaan. Tak cuma itu, pihak terkait juga dihadirkan.

Pihak terkait ini adalah, pihak yang disebutkan dalam gugatan dan atau bila keputusan persidangan akan berkonsekuensi pada status hukum dan politiknya. Misalnya, pasangan A menggugat KPUD agar membatalkan keputusan yang memenangkan pasangan B. Pasangan B ini masuk kategori pihak terkait. Dalam persidangan MK, pihak terkait ini nanti juga bisa memberikan sanggahan ataupun sebaliknya membuktikan hal lain yang menunjukkan bahwa pasangan A sebenarnya salah atau melakukan kesalahan.

Tergantung perkembangan, majelis hakim juga akan menghadirkan para saksi ahli. Oh ya, Panwas hingga petinggi aparat Polri di daerah biasanya juga akan dihadirkan untuk memberikan penjelasan entah dalam kapasitas sebagai pihak terkait ataupun sebagai saksi.

Persidangan biasanya dipimpin panel hakim yang terdiri atas tiga hakim konstitusi dimana salah satunya menjadi ketua panel. Selanjutnya, setelah rangkaian persidangan selesai, maka hasilnya akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) Konstitusi yang dihadiri 9 hakim konstitusi. Dari situ kemudian keputusan ditetapkan dan dibacakan secara terbuka oleh 9 hakim konstitusi pada waktu yang telah dijadwalkan. Putusan lengkap pun akan diunduh di website resmi MK.

Nah, lalu bagaimana mengetahui bahwa gugatan akan dimenangkan atau sebaliknya ditolak oleh MK? Dari sekian banyak variabel penting yang menentukan, setidaknya, terjawab tuntasnya tiga hal berikut akan menjadi pertimbangan gugatan ditolak atau diterima.

1. Apakah semua dalil penggugat itu terbukti? Di sini kekuatan pembuktian dan saksi-saksi sangat menentukan. Kualitas bukti dan saksi sangat menentukan.

Sistem hukum kita memberikan kewajiban pembuktian kepada penggugat. Kalau misalnya, pasangan A mendalilkan bahwa KPUD dan pasangan B melakukan pelanggaran sehingga meraih suara lebih banyak dan karena itu memohon agar pasangan B dibatalkan kemenangannya (diskualifikasi) maka pasangan A yang berkewajiban membuktikan dalil atau tuduhan itu. Beban pembuktikan ada pada pasangan A, bukan pada KPUD dan pasangan B. Nah, kalau tidak bisa membuktikan tuduhannya, maka gugatannya dengan sendirinya akan dinilai tidak terbukti dan tidak memiliki kekuatan untuk dipertimbangkan.

Pembuktian adalah momen paling menentukan di persidangan MK. Sengketa hasil Pilkada biasanya memerlukan saksi-saksi yang banyak. Tentu saja umumnya orang-orang dari daerah, bahkan dari kampung-kampung. Dalam beberapa kali persidangan gugatan hasil Pilkada di Pulau di Nias pada 2011 lalu, tak sedikit saksi yang didatangkan dari pulau Nias terkendala bahasa Indonesia sehingga tidak bisa menjelaskan dengan baik.

Juga terkendala kemampuan menjelaskan, khususnya ketika menjawab cecaran hakim, pengacara penggugat apalagi dari pengacara tergugat dan pihak terkait. Tidak sedikit yang kemudian menjadi bahan tertawaan di persidangan. Juga ada saksi yang tidak bisa dihadirkan karena besarnya biaya untuk mendatangkannya ke Jakarta.

Nah, bagi yang menggugat, sebaiknya persiapkan para saksi dengan bahasa Indonesia yang baik dan kemampuan berbicara/menjelaskan argumentasi dengan baik. Sebab, bisa saja sebenarnya saksinya memiliki bukti atau penjelasan yang benar, tapi kemudian diabaikan karena membuat sidang terasa bertele-tele karena penjelasan dianggap tidak nyambung.

2. Kalau penggugat berhasil membuktikan dalilnya seperti diuraikan pada poin 1, maka selanjutnya adalah membuktikan bahwa suara yang dianggap ‘diperoleh secara melanggar hukum’ oleh pasangan pemenang itu seharusnya dan pasti milik pasangan penggugat. Demikian juga dengan pemilih ganda atau yang tidak mendapatkan surat undangan memilih harus dibuktikan bahwa kalau mereka memilih pasti akan memilih pasangan penggugat.

Ini biasanya lebih sulit dilakukan. Bahkan, pembuktian akan semakin sulit bila peserta Pilkada lebih dari dua pasangan. Makin banyak peserta makin sulit. Sebab, asumsi dasarnya adalah suara yang diperoleh secara melanggar hukum itu harusnya akan tersebar kepada semua pasangan dan bukan hanya untuk pasangan penggugat. Nah, dalam hal ini penggugat tidak bisa mengklaim bahwa semua suara yang didalilkan dicurangi oleh pasangan pemenang itu pasti untuk penggugat semuanya. Itu naif sekali karena penggugat pasti tidak bisa mencari tahu siapa yang akan dipilih para pemilih karena pemberian suara bersifat rahasia.

3. Ini lebih berat lagi. Kalau poin pertama dan kedua bisa (andaikan) dibuktikan bahwa semua suara yang diperoleh secara curang itu terbukti adalah milik pasangan penggugat maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah setelah dilakukan koreksi perolehan suara, apakah seluruh pertambahan suara pasangan penggugat itu bisa mengubah hasil akhir perolehan suara atau tidak.

Di pilkada dengan lebih dari dua pasangan peserta biasanya susah mendapatkan tambahan suara yang melampaui suara pemenang dengan selisih sangat besar apalagi di atas di atas 5 persen. Karena itu, meski mungkin penggugat berhasil membuktikan pihaknya benar dalam berbagai kejadian pelanggaran tapi sulit menang karena total suaranya tidak melebihi perolehan pasangan pemenang. Paling mungkin hanya mengurangi total suara pemenang.

Lengkap, Bisa Digugurkan

Tapi perlu diketahui, tiga poin di atas adalah hal-hal yang akan terjadi bila gugatan penggugat diproses dalam persidangan MK. Artinya, gugatan memenuhi syarat formal untuk diperiksa hakim melalui proses persidangan.

Kenapa ini penting? Untuk diketahui, dari total 147 gugatan hasil Pilkada tahun ini kemungkinan besar tidak akan diproses semuanya di persidangan. Penetapan status “Lengkap” atas berkas gugatan bukanlah keputusan bahwa penggugat sudah dan pasti menang. Itu sekadar penilaian apakah berkas dan prosedur gugatan sudah lengkap dan sesuai. Jadi ingat, status “Lengkap” itu bukanlah penilaian atas isi gugatan.

Sesuai prosedur penanganan gugatan perselisihan hasil pilkada di MK, berkas-berkas yang telah dinyatakan lengkap tersebut masih akan menempuh proses verifikasi lanjutan oleh internal MK. Mulai 7-17 Januari, berkas-berkas gugatan itu akan diproses.

Nah, berkas-berkas yang kemudian dinilai tidak memenuhi syarat formal akan langsung digugurkan/dieliminasi. Yang dinyatakan memenuhi syaratlah yang akan dilanjutkan pada tahapan selanjutnya yakni proses persidangan yang sebenarnya, ditandai dengan memanggil para penggugat, tergugat, para saksi, para pihak terkait, pemeriksaan barang bukti dalam persidangan sampai penetapan dan pembacaan putusan.

Edukasi Hukum

Masyarakat di Pulau Nias telah menunjukkan tanda-tanda yang positif mengenai pemahaman politik (edukasi politik) seperti tampak dari hasil Pilkada pada 9 Desember 2015. Pertanda masyarakat mulai bisa membedakan mana yang layak dipertahankan, mana yang layak dinaikkan ke tampuk kekuasaan. Modal itu juga harusnya diikuti dengan pengetahuan lanjutan mengenai proses-proses hukum (edukasi hukum) yang terkait, khususnya soal gugat menggugat atas hasil Pilkada.

Gugat menggugat ini adalah hal yang wajar dalam demokrasi. Diakomodasi dalam aturan perundang-undangan dan sistem hukum nasional. Adanya gugatan menunjukkan bahwa keputusan apapun bisa dipertanyakan dan dikoreksi melalui jalur formal yang disediakan dan dijamin undang-undang, yakni pengadilan.

Namun sebaliknya, juga tidak berarti bahwa setiap gugatan akan dimenangkan atau mengubah keputusan yang ada. Sebab, ada proses pengadilan, seperti diulas sedikit di atas, yang membuat setiap gugatan diketahui berisi kebenaran atau sebaliknya hanya karena dorongan emosional karena tidak bisa menerima kekalahan.

Jadi, kalau ada gugatan seperti saat ini terjadi, masyarakat tidak perlu kuatir berlebihan. Itu hal biasa saja. Kalau ada yang menyebarkan informasi yang mengatakan bahwa dengan gugatan itu mereka pasti menang dan akan dilantik, itu pasti orang-orang yang tidak mengerti pokok persoalan dan prosedur hukum yang berlaku. Mereka cuma berusaha mengelabui masyarakat.

Ingat! Tidak ada siapapun yang mengetahui siapa yang kalah dan siapa yang memenangi gugatan sampai MK membacakan putusan sela pada 18 Januari 2016 atau putusan akhirnya pada awal Maret 2016.

Karena itu, daripada pusing-pusing, resah, gelisah dan repot menanggapi isu tak jelas yang berseliweran, lebih baik ikuti saja proses persidangan di MK, baik melalui media, maupun dengan membaca langsung dari website resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id. (ns1)

* Penulis adalah Pemimpin Redaksi situs www.NiasSatu.Com.

Facebook   : Etis Nehe
Twitter       : @etisnehe
Instagram : Etis Nehe

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »