MERAJUT MASA DEPAN NIAS DARI SEMARANG (BAGIAN 1)

Cinta Elisabeth Philip Untuk Nias

Bersama Ibu Elisabeth Philip (baju warna hijau) usai pertemuan di rumahnya, Minggu, 8 Juli 2018. Dari kiri ke kanan: Etis Nehe, Pak Senta Leo, Ibu Aprilin, Ibu Elisabeth Philip, Ibu Yani dan Pak Robby | Dok. Pribadi.

Ekspresi kelelahan tak bisa ditutupi dari wajah-wajah dan tubuh mungil mereka. Tiba di kompleks asrama putra SMK Bagimu Negeriku, mereka langsung bergegas menurunkan barang dari bus ukuran sedang milik sekolah yang menjemput mereka dari Bandara Internasional Ahmad Yani yang baru. Saya ikut membantu menurunkan barang-barang mereka.

Bersama mereka, Ketua Lembaga Abdi Pusaka Indonesia (API) Pak Senta Leo dan istrinya, Ibu Aprilin yang merupakan penghubung dengan pihak sekolah sehingga keempatnya bisa tiba untuk memulai tahap baru kehidupan mereka di sekolah yang beralamat di Jalan Palir Raya No.66 – 68, Podorejo, Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah itu.

Mereka melakukan perjalanan melelahkan secara maraton dari Pulau Nias – Bandara Kualanamu – Bandara Soekarno-Hatta – Bandara Internasional Ahmad Yani. Sesuai jadwal, mereka harusnya tiba pada sore hari di asrama. Namun, karena terjadi keterlambatan penerbangan, mereka baru tiba pada malam hari.

Paulus Pejuang Gulö dari Desa Hilimbaruzo, Idanögawo, Kabupaten Nias dan Memang Perhatian Waruwu dari Desa Hilimbowo Botomuzöi, Kec. Botomuzöi, Kabupaten Nias langsung menuju area Wisma Putra. Sedangkan Darwin Eka Purnamasari Harefa dan Hasrat Kurniawati Harefa keduanya berasal dari Desa Dahana Tabaloho, Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli menuju ke Wisma Putri yang lokasinya bersebelahan dengan gedung sekolah. Kami mengantar mereka sampai pintu utama gedung Wisma Putri.

Setelah mengantar mereka, kami beranjak ke mobil yang akan membawa kami ke kota Semarang untuk menginap di rumah Ibu Elisabeth Philip, pendiri SMK Bagimu Negeriku. Darwin dan Hasrat tak bisa menyembunyikan rasa berat hatinya ketika kami akan meninggalkan mereka.

Pak Senta membesarkan hati mereka dan menguatkan mereka. Bahwa mereka harus tegar dan belajar memulai kehidupan baru mereka. Demi masa depan mereka dan keluarga yang telah melepas mereka dengan banyak harapan. Pak Senta mengingatkan mereka agar tak lupa berdoa dan juga bersikap baik di asrama.

Perjalanan menuju Semarang bagi anak-anak itu bukanlah hal mudah. Itu merupakan perjalanan pertama mereka meninggalkan keluarga, meninggalkan Pulau Nias dengan jarak yang jauh.

Pak Senta menjelaskan, bahwa untuk tiba di Semarang, anak-anak itu membutuhkan biaya yang sangat besar untuk biaya tiket pesawat. Apalagi saat itu (dan sampai saat ini) harga tiket pesawat dari dan ke Nias sangat mahal. Orangtua anak-anak itu juga tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Bahkan ada yang sempat mau menjual tanah mereka.

“Sebelum ke Semarang, saya minta anak-anak ini tinggal di asrama kami di Promiseland. Kami mempersiapkan mereka di situ dengan sejumlah pembinaan karakter sebagai persiapan mereka sebelum ke Semarang. Kami terus berusaha dan berdoa bagaimana membantu mereka untuk sampai ke Semarang. Masa depan mereka tidak boleh terhenti hanya karena masalah biaya perjalanan itu. Tuhan sudah buka jalan melalui SMK Bagimu Negeriku dan mereka harus sampai ke sana. Tetapi, puji Tuhan, ada seorang yang dipakai Tuhan, yang membaca cerita saya di Facebook dan membiayai ongkos anak-anak ini sampai ke Semarang,” jelas dia.

***

Pak Senta Leo bersama empat anak Nias yang dibawa untuk sekolah di SMK Bagimu Negeriku di Semarang. Dua lainnya akan menempuh pendidikan di STT SAPPI di Jawa Barat | Dok. Senta Leo

Pada sore hari, sebelum keempat anak itu beserta Pak Senta dan istrinya tiba, saya telah bertemu dengan tiga putra Nias lainnya yang sudah datang lebih dahulu. Mereka adalah Hasan Setia Mendröfa, Alfa Charies Kusuman Harefa, Elman Karunia Faohahau Harefa yang tiba di asrama sekolah itu pada Kamis (5/7/2018). Mereka dibawa oleh Pdt. Tulus, penghubung lainnya dengan pihak sekolah. Berdasarkan data sekolah, seorang putra Nias lainnya bernama Ferianus Gea yang berasal dari Medan juga telah masuk ke sekolah itu. Total ada delapan putra-putri Nias yang diterima pada tahun ini.

Dalam pertemuan itu, kami berbincang dengan Direktur Eksekutif SMK Bagimu Negeriku Ibu Ruth Jeanette, yang juga ditemani oleh pembina Wisma Putra, Pak Willy. Juga hadir tiga anak Nias lainnya yang sudah lebih dulu bersekolah di sana, yakni O’ölizisokhi Gea, Oscar Exaudi Megaranto Harefa dan Datatuwu Pratama Waruwu.

Mereka bukanlah kelompok putra-putri Nias yang bersekolah di sana. Sejak sekolah itu mulai beroperasi pada 2011, anak-anak Nias sudah sekolah di sana dalam jumlah yang cukup banyak. Mereka tersebar di lima jurusan, yakni Jasa Boga, Multimedia, Teknik Konstruksi Batu dan Beton, Rekayasa Perangkat Lunak dan Teknik Kendaraan Ringan.

Saban tahun, anak-anak Nias tiba di sekolah itu dibantu para penghubung (PIC) yang bekerja sama dengan pihak sekolah. Mereka umumnya para Pendeta yang melayani di Pulau Nias. Mereka menyeleksi anak-anak dari keluarga tak mampu namun memiliki kemampuan belajar yang baik. Setelah melalui proses seleksi, mereka dibawa ke Semarang.

Anak-anak itu sungguh merasakan sebagai berkat yang sangat besar bisa bersekolah di sana. Bukan cuma karena biaya sekolah mereka ditanggung, tetapi juga karena berada di sana berarti mereka mendapatkan kesempatan bersekolah, sesuatu yang tak mudah dengan situasi perekonomian keluarga asal mereka di Pulau Nias. Berada di tempat ini berarti mereka sedang berada di salah satu sekolah kejuruan terbaik di Indonesia.

Dalam pertemuan terbatas kami tanpa dihadiri oleh kepala sekolah dan pembina mereka, kami berbincang banyak hal dalam bahasa Nias. Mereka mengungkapkan betapa mereka sangat bersyukur diberikan kesempatan belajar di sekolah itu. Mereka juga merasakan nuansa yang berbeda dari sistem pendidikan di Nias seperti sebelumnya mereka pernah rasakan.

“Saya sangat senang bisa sekolah di sini. Senang dengan cara belajar di sini. Kami benar-benar dilatih dengan baik sehingga bila tamat dari sini sudah memiliki keahlian,” ungkap Oscar.

Ibu Ruth mengatakan, sebagian besar siswa di sekolah itu adalah anak-anak dari keluarga tak mampu, dari pedalaman berbagai daerah di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Dia juga mengakui, bahwa anak-anak Nias yang sekolah di sana, sejak sekolah itu dimulai menunjukkan kemampuan rata-rata yang lebih baik dalam bidang akademik.

“Dari evaluasi kami, rata-rata anak-anak dari Pulau Nias yang bersekolah di sini menunjukkan keunggulan akademik yang lebih baik dibanding teman-teman mereka dari daerah lain,” ujar dia.

Dia mengakui kemampuan adaptasi mereka di bidang akademik sangat bagus meski berasal dari daerah dengan latar belakang sekolah menengah pertama yang pas-pasan.

Pembentukan Karakter

Ibu Ruth dan Pak Willy mengakui, bahwa dalam beberapa hal, anak-anak Nias di sana mengalami proses adaptasi yang tidak mudah. Karena ketika masuk di sekolah itu, mereka diwajibkan masuk asrama dengan aturan yang ketat dan itu memaksa mereka harus mengubah karakter atau kebiasaan mereka yang selama ini dianggap wajar dan baik selama di kampung halaman. Sementara di sisi lain, mereka juga harus beradaptasi dengan kebiasaan teman-teman mereka dari latar belakang daerah dan budaya yang berbeda.

Sejumlah siswa asal Nias, termasuk yang baru tiba berfoto bersama dengan Direktur Eksekutif SMK Bagimu Negerika dan redaksi NiasSatu.com | NS

Ibu Ruth mengatakan, salah satu masalah yang sangat mendapat perhatian mereka terhadap beberapa anak Nias adalah masalah karakter. Dia mengatakan, karena tidak bisa lagi ditolerir, mereka pernah mengeluarkan satu atau dua anak karena tidak menunjukkan perubahan.

“Akhirnya ada satu atau dua orang yang kami keluarkan. Kalau kami tahu mereka bikin masalah, kami akan tegur dulu. Tetapi bila tidak berubah, maka terpaksa kita keluarkan,” jelas dia.

Dia menjelaskan, ada ketentuan di sekolah itu dimana ketika masuk setiap anak harus bersungguh-sungguh belajar. Sebab, biaya mereka disubsidi oleh yayasan. Karena itu, setiap perilaku mereka di asrama dan di sekolah dinilai. “Kalau tidak ada perubahan sama sekali dan tampaknya makin tidak ada rasa takut (ketaatan) atau perubahan, maka maaf, kami harus keluarkan,” tegas dia.

Dia mengakui, membentuk karakter itu tidak gampang. Tetapi mereka tak kendor sama sekali untuk mengupayakan perubahan karakter anak-anak itu demi masa depan mereka. Sebab, kata Ibu Ruth, tak cukup lulus dari tempat itu berdasarkan kemampuan akademik tanpa dibarengi dengan kualitas karakter yang baik.

“Visi kami adalah unggul dalam prestasi, berbudi di dalam perilaku. Jadi, paling penting adalah pembentukan karakter. Kami selalu menekankan kepada anak-anak, banyak lho lulusan SMK selain kita. Dan, kita harus punya sesuatu yang lebih, yakni karakter. Kalau mereka jujur, mereka pekerja keras, pasti dipilih oleh pekerjaannya, bukan mencari pekerjaan. Jadi, saya selalu tekankan kepada anak-anak agar memiliki karakter yang bagus, yakni rendah hati, takut Tuhan. Kalau mereka punya dua hal itu, maka mereka bisa menjaga sikap perilaku mereka,” jelas dia.

Dia mengatakan, karena alasan pembentukan karakter itulah makanya sekolah itu mewajibkan seluruh siswa/i tinggal di asrama.

“Kami memang mewajibkan semua anak masuk di asrama. Bahkan, murid kami yang rumahnya di sebelah asrama ini, tetap wajib masuk asrama. Kenapa? Sebab, pembentukan karakter mereka dari asrama. Gemblengan mental mereka adalah di asrama ini. Sebab, pasti ada peraturan. Mereka harus bangun pagi, antri ke kamar mandi, cuci baju sendiri, makan cuci piring sendiri,” tutur dia.

Meski begitu, sebagian besar anak-anak Nias di sekolah itu berhasil berubah dan bisa menyesuaikan diri dengan sangat baik dan menamatkan pendidikan dengan hasil yang memuaskan.

Pulang Bangun Nias

Selain yang tinggal di asrama dan sekolah di SMK Bagimu Negeriku, Ibu Elis, juga menampung beberapa anak-anak Nias di rumahnya dan memperlakukan mereka seperti anaknya kandungnya sendiri. Mereka kemudian disekolahkan hingga perguruan tinggi. Salah satunya adalah Ninda yang kemudian menjadi guru di SMK Bagimu Negeriku.

Kemampuan akademik anak-anak Nias juga mengesankan Ibu Elis, demikian dia sering disapa.

“Si Ninda itu lulusnya cumlaude di jurusan Fisika. Kalau si Warni itu juga cumlaude, dia di bagian manajeman. Ninda itu sekarang guru di SMK Bagimu Negeriku. Adiknya Ninda barusan selesai dari SMK nilainya juga bagus dan juara. Sekarang saya kuliahkan ambil arsitektur. Setelah ini saya akan minta dia kembali. Menjadi berkat untuk pulaumu, untuk kotamu. Saya berharap mereka kembali supaya membangun Nias,” ungkapnya.

Dalam percakapan pada kesempatan berbeda, Ninda mengungkapkan bahwa perkenalannya dengan Ibu Elis adalah sebuah rencana Tuhan. Melalui Pdt. Sabaati Mendrofa yang menjadi PIC anak-anak Nias yang sekolah di SMK Bagimu Negeriku, meminta bantuan Ibu Elis menguliahkannya dan Warni.

“Bapak Sabaati sebelumnya belum pernah bertemu dengan ibu Elis, tapi beliau mencoba menghubungi ibu Elis untuk meminta bantuan untuk menolong saya dengan kak Warni untuk dikuliahkan karena orangtua saya tidak mampu untuk menguliahkan saya. Dan puji Tuhan, karna kasih Tuhan, Ibu Elis mau menerima saya sampai saat ini. Dan, Tuhan juga menempatkan saya di SMK Bagimu Negeriku saya percaya itu semua bukan karena kebetulan. Tapi semua memang sudah Tuhan tentukan,” paparnya.

Ninda berasal dari dari Desa Maliwa’a, Kecamatan Idanogawo. Tiba di Semarang pada Juni 2013. Kemudian, dikuliahkan oleh Ibu Elis di Universitas PGRI Semarang pada jurusan Pendidikan Fisika dan lulus pada Oktober 2017.

“Sepenuhnya dibiayai Ibu Elis. Saya mulai bekerja di SMK Bagimu Negeriku pada Oktober 2017. Namun mulai mengajar Fisika pada tahun ajaran ini pada dua jurusan, Rekayasa Perangkat Lunak dan Multimedia,” jelasnya.

Tak selesai sampai di situ, dalam perbincangan kami di rumahnya pada Minggu, 8 Juli 2018 itu, Ibu Elis bahkan berjanji akan menjejakkan kaki di Pulau Nias. Ingin berbagi kepada para petani dan pihak-pihak terkait di sana untuk membantu mereka melihat sisi lain bagaimana mengubah kehidupan para petani di sana, agar menjadi lebih sejahtera. Dia akan membagikan kisah suksesnya memajukan sebuah desa miskin, Desa Tlogoweru di Kabupaten Demak dengan mengajak Kepala Desa Tlogoweru dan beberapa orang lainnya ke Nias.

Dia akan datang ke Nias dan akan memberikan pelatihan itu di lembaga yang didirikan oleh Pak Senta Leo, Abdi Pusaka Indonesia dengan nama tempat pelayanan mereka, Promiseland di Desa Umbu, Kecamatan Gidö, Kabupaten Nias. Bila tidak ada halangan, Ibu Elis akan datang ke sana pada September, bulan depan. (Baca: Pendiri SMK Bagimu Negeriku dan Yayasan API Bekerja Sama Majukan Nias)

Selama ini, tanpa banyak publikasi, ketika banyak orang hanya berceloteh dan beretorika tentang membangun masa depan Nias, nun jauh di sana, di Semarang, seorang Ibu Elis dan timnya telah berbuat banyak sekali untuk masa depan Nias. 

Ibu Elis dalam kondisinya sebagai penyandang tunanetra sejak berusia 32 tahun, bisa melihat jauh hingga ke Pulau Nias yang belum pernah dia datangi dan memikirkan masa depan generasinya. Masyarakat Nias berutang besar kepada Ibu Elis dan timnya.

Tentu saja, utang besar itu tidak perlu dibayar dalam bentuk uang. Tetapi, dengan membuka mata dan hati untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh bagi masa depan anak-anak Nias, dengan terlibat dalam semua upaya nyata untuk mewujudkannya. (NS1/Etis Nehe)

 

 

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »