Pengakuan Tiga Ekspresi Budaya Nias dan Momentum Merawat Kearifan Lokal

Samuel Novelman Wau | Dok. Pribadi

Oleh Samuel Novelman Wau*

Pendahuluan

Mendengar berita ditetapkannya tiga ekspresi budaya tradisional suku Nias sebagai kekayaan intelektual komunal di sela-sela acara launching Sail Nias 2019 di Hotel Sultan Jakarta, pada 14 Maret 2019 lalu cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan masyarakat kepulauan Nias.

Mae simana ra’ufö ndrao va mondrono ya’ia (mendengar berita itu, serasa bagai menikmati makanan ra’ufö). Ra’ufö adalah sebutan untuk bagian makanan kehormatan yang hanya disuguhkan kepada mereka yang layak dihormati seperti paman dan mertua). Betapa tidak, itu adalah hal yang sangat langka terjadi. Selama 74 tahun Indonesia menjadi satu bangsa merdeka, kekayaan budaya daerah ini sulit sekali bersaing dengan budaya-budaya lainnya yang ada di seantero Nusantara.

Masalahnya bukan pada mutunya. Tetapi karena tidak adanya kesempatan untuk dipromosikan sebagai bagian dari budaya nasional. Ditambah lagi hampir tidak adanya pengakuan secara resmi dari pemerintah pusat. Dan yang menyedihkan adalah setiap kali ada perhelatan nasional yang menampilkan keberagaman budaya nasional dari setiap provinsi, Nias tidak pernah mewakili kontingen Sumatera Utara.

Karena itu penetapan ini merupakan berkat tak terduga bagi seluruh masyarakat Nias. Tantangan berikutnya adalah bagaimana momentum ini dimanfaatkan untuk pelestarian budaya Nias itu sendiri.

Tiga Ekspresi Budaya

Di hadapan ratusan hadirin acara yang disaksikan secara langsung oleh masyarakat Nias yang nobar (nonton bareng) di plaza Omo Famaedodanö di Desa Bawömataluo lewat tayangan live streaming, Menkumham sekaligus politisi berdarah Nias, Yasonna H. Laoly menyerahkan surat pencatatan inventarisir kekayaan intelektual komunal atas tiga ekspresi budaya tradisional kepulauan Nias, yaitu maena, fahombo dan maluaya.

Surat pencatatan maena diserahkan kepada wakil gubernur Sumatera Utara, Musa Rajekshah yang mewakili Gubernur Sumatera Utara. Sedangkan surat pencatatan fahombo dan maluaya yang adalah kekayaan budaya asli Nias Selatan diserahkan kepada Bupati Nias Selatan, Hilarius Duha.

Hari ini maena telah menjadi suguhan wajib dalam setiap acara masyarakat Nias khususnya yang ada di perantauan. Di setiap resepsi pernikahan, perayaan Natal atau pertemuan-pertemuan lainnya, seperti launching Ya’ahowu Nias Festival 2018 dan Sail Nias 2019 ini selalu ditutup dengan tarian maena. Tanpa tarian massal yang jumlah pesertanya tidak dibatasi ini maka acara-acara masyarakat Nias diaspora seolah tidak lengkap.

Gerakan maena cukup sederhana. Yaitu, kaki kanan dihentakan sebanyak dua kali ke depan lalu badan diputar berlawanan arah jarum jam, dan begitu seterusnya. Tarian ini diiringi dengan lantunan syair-syair khusus yang disebut fanutunö (penuturan) yang dilantunkan oleh satu atau beberapa orang pilihan dan kemudian akan dibalas oleh para peserta maena dengan lantunan syair yang disebut fanehe (jawaban). Biasanya syair maena disesuaikan dengan tema acara. Adapun pesan moral dari tarian ini adalah kebersamaan, kegembiraan dan kemeriahan.

Terlepas dari segala gegap gempita tarian kolosal masyarakat Nias ini, satu hal yang perlu dicatat di sini yaitu maena bukanlah asli dari daerah yang pernah masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Telukdalam sebelum Kabupaten Nias Selatan dimekarkan sebagai kabupaten tersendiri. Daerah kaya budaya ini hanya identik dengan tari mogaele dan tari moyo yang dibawakan oleh kaum wanita dan maluaya oleh kaum pria.

Sedangkan tarian maena yang terbuka terhadap segala usia dan jenis kelamin ini berawal dari Nias bagian lain – yang mana diantara 4 wilayah administratif (1 kota dan 3 kabupaten) di luar Nias Selatan, sulit ditentukan. Itulah sebabnya sangat tepat surat pengakuan itu diserahkan kepada pemerintah provinsi Sumatera Utara dan bukan kepada salah satu kepala daerah dari 4 wilayah tadi yang ketepatan hadir juga dalam launching Sail Nias 2019.

Dalam perkembangannya maena dibawa ke Selatan namun pemakaiannya masih sangat terbatas, atau bukan bagian utuh dari budaya sakral setempat. Bagi masyarakat Nias di Selatan maena tidak lebih dari hiburan semata. Hadir atau tidaknya maena tidak menambah dan juga tidak mengurangi entitas budaya Nias Selatan – dan sepertinya akan begitu seterusnya.

Sementara itu, fahombo yang juga ditetapkan sebagai kekayaan intelektual komunal merupakan salah satu atraksi budaya yang menjadi ikon wisata Nias Selatan dan pernah menghiasi mata uang pecahan seribu rupiah. Praktik fahombo ini sendiri hanya ada di beberapa desa tradisional di bekas Kecamatan Telukdalam sebelum pemekaran, diantaranya Bawömataluo, Orahili, Hilisimaetanö, Hiligeho, Hiliamaeta dan Botohili. Tidak semua desa di kabupaten Nias Selatan memiliki tradisi ini.

Sayangnya popularitas atraksi klasik ini tidak sepenuhnya dibarengi dengan pengetahuan yang benar tentangnya. Sampai sekarang masih banyak saja orang yang mengira kemampuan fahombo merupakan tanda kedewasaan dan syarat menikah bagi para pemuda Nias.

Celakanya lagi ada yang mengatakan bahwa fahombo dicetuskan oleh penjajah Belanda sebagai bentuk olahraga untuk menyalurkan energi orang Nias Selatan yang punya tradisi perang. Ngawur! Entah siapa yang memulai ide sesat itu. Memang fahombo punya kaitan erat dengan sejarah kelam perang antar banua di Nias Selatan namun tidak seperti mitos yang dinarasikan tadi. Justru sebaliknya, fahombo dirancang untuk kepentingan perang, bukan untuk mengakhiri perang.

Zaman dulu pemukiman tradisional Nias dibangun di atas bukit sebagai benteng alam pertahanannya. Untuk semakin memperkuat pertahanan setempat orang Nias memagari pemukimannya dengan bambu runcing. Semuanya itu akan menyulitkan musuh masuk ke dalam. Banua lama Orahili Fau telah membuktikan keefektifan benteng ini dalam perang melawan Belanda. Hanya ada satu cara untuk bisa menerobosnya yaitu harus ada yang bisa melompati bentengnya. Para pelompat ini akan menjadi pasukan pembuka jalan bagi rekan-rekan mereka yang datang menyerang.

Melompati pagar bambu runcing yang tertancap di ketinggian sambil memegang tameng (baluse) dan mengayunkan pedang (tolögu) atau tombak (toho) ke arah musuh yang sudah menanti di dalam pemukiman tentu tidak mudah. Butuh kecakapan khusus dan latihan intensif untuk melakukan itu. Kepentingan ‘militer’ inilah yang membuat orang Nias membangun tumpukan batu lebih dari 2 meter di alun-alun pemukimannya yang sekarang disebut lompat batu (hombo batu).

Di atas batu itu setiap pemuda mengasah kemampuan perangnya. Di masa lalu para pelompat begitu dihargai dan menjadi aset penting bagi setiap banua karena di pundak merekalah terletak keberlangsungan banua-nya. Uniknya bila ada seorang pemuda yang untuk pertama kalinya berhasil melompati batu tersebut maka si’ulu (bangsawan) setempat akan menjamunya sebagai bentuk apresiasi.

Kini setelah perang berakhir tradisi lompat batu masih dilestarikan. Sampai sekarang setiap banua tradisional terus melahirkan pemuda-pemuda kebanggaannya yang mampu melompati hombo batu. Tujuannya memang bukan lagi untuk mengobarkan api perang tetapi lebih sebagai bagian dari atraksi budaya bernilai wisata.

Hal yang perlu diperhatikan oleh para pelompat kontemporer adalah apakah dalam diri mereka jiwa patriot (kecintaan fabanuasa) dan kesatria karena nilai-nilai itulah yang pernah terpatri di dada para legenda pelompat kuno.

Keputusan pemerintah RI yang juga ikut mengiventarisir tarian maluaya di samping maena dan fahombo sudah sangat tepat mengingat tarian kolosal ini adalah induk dari seluruh pergelaran budaya Nias Selatan. Sejarah maluaya sendiri tidak dapat dilepaskan juga dari aksi ‘militer’ di masa lalu sebagaimana fahombo. Hanya saja jika fahombo dirancang untuk memasuki medan perang maka maluaya justru digelar setelah para prajurit pulang bertempur. Tarian ini dimaksud sebagai ekspresi kegembiraan karena telah meraih kemenangan gemilang. Dalam tarian ini hoho (folklor) dan sejumlah yel-yel perang dilantunkan secara bersahut-sahutan.

Sekalipun ini disebut tarian dan ada syair-syair yang dilantunkan namun tidak ada satupun alat musik yang dimainkan. Suara para saluaya (orang yang maluaya), hentakan kaki dan gerak-gerik ratusan prajurit yang membentuk formasi perang sudah lebih dari cukup untuk membakar emosi penonton.

Tanggungjawab Merawat Budaya Lokal

Eforia atas ditetapkannya tiga elemen budaya Nias sebagai kekayaan intelektual komunal cukup terasa di kalangan masyarakat Nias. Setidaknya hal itu dapat dipantau dari media sosial. Kegembiraan ini sangatlah wajar. Namun masyarakat Nias khususnya generasi muda yang menjadi ahli waris dari kearifan lokalnya janganlah tenggelam dalam eforia sesaat. Ada ungkapan dalam bahasa Nias mengatakan, “aboto, sau!” (Artinya, kira-kira demikian: Kalau cuma begitu, itu ibarat gelembung. Ketika pecah, isinya cuma uap). Sebaliknya penetapan ini harus bisa dijadikan sebagai momentum merawat kearifan lokalnya. Budaya Nias penting untuk dirawat. Alasannya sederhana, jika tidak dirawat maka kekayaan itu akan rusak dan/atau diklaim oleh pihak lain.

Budaya itu dinamis. Demikian pula dengan budaya Nias. Kita percaya apa yang kita sebut hari ini kekayaan budaya suku Nias tidak muncul dalam waktu satu malam. Itu terjadi melalui proses yang panjang sekali, puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan tahun. Entahlah. Segala hasil pemikiran, rasa dan karsa leluhur sedikit demi sedikit dituangkan hingga menghasilkan budaya yang demikian kita bangga-banggakan hari ini. Dalam dinamisnya budaya ini tentu ada unsur-unsur kontemporer dari generasi kemudian yang semakin memperkayanya. Sesuatu yang mustahil untuk dibendung. Budaya harus terus bergerak.

Walaupun demikian progres ini tidak boleh kebablasan juga. Budaya Nias tentu punya patron yang menjadi mercusuar bagi generasi baru – setidaknya latar belakang pemikiran dan filosofi di balik produk budaya itu perlu diperhatikan. Setiap kreasi baru mesti setia pada patron tadi. Jika tidak maka itu tidak layak disebut sebagai budaya (warisan) leluhur tetapi budaya karbitan. Kreasi apapun harus bisa memperkaya dan bukan sebaliknya merusak. Jangan sama seperti seorang yang memakai terlalu banyak bedak sehingga wajah aslinya tidak lagi kelihatan.

Kita tidak mau wajah budaya Nias menjadi buram karena terlalu banyak kreasi yang tidak perlu dan tidak relevan. Soal interpretasi baru menjadi masalah tersendiri juga yang ikut merusak, padahal boleh jadi maksud pencetusnya tidak demikian. Contohnya, tradisi lompat batu yang maknanya dibengkokkan sedemikian jauh menjadi syarat untuk bisa menikah. Sekali lagi, itu ngawur. Dan lebih ngawurnya lagi si pemilik budaya diam saja mendengar semuanya bahkan ikut menyebarluaskan cerita yang salah itu.

Apakah kekhawatiran ini ril? Sangat ril! Tanpa sadar dalam banyak kesempatan secara perlahan kita sedang merusak budaya leluhur. Celakanya lagi sementara kita berpikir sedang melakukan upaya pelestarian sebenarnya kita sedang menzoliminya. Lalu apa solusinya? Tidak ada pilihan lain kecuali generasi baru khususnya yang menyebut dirinya sebagai ahli waris budaya leluhur harus diedukasi lalu mengedukasi.

Kita perlu belajar dari prinsip sepakbola Eropa. Para pemain top dunia di sana sebelum dipercaya menendang bola mereka harus masuk akademi klub untuk belajar banyak hal. Sayangnya di sini kita ingin buru-buru menendang bolanya, ingin tampil sebagai pemain, ingin diakui sebagai pelaku budaya leluhur tapi tanpa pemahaman yang benar akan budaya itu sendiri.

Budaya Nias sangat penting untuk dipelajari. Bila ditelaah dengan benar, niscaya akan ditemukan betapa kayanya makna setiap elemen budaya Nias. Segala macam pertanyaan dalam bentuk: siapa, apa, kenapa, dimana, kapan dan bagaimana tidak akan ada habisnya untuk menyoroti satu elemen saja. Pertanyaan-pertanyaan itu dan jawabannya yang sebenarnya akan menolong kita untuk tidak melenceng dengan memberikan interpreasi sendiri atau memasukan kreasi baru sesuai selera semata.

Kemudian alasan pentingnya edukasi ini yaitu masalah kepemilikan. Generasi sekarang harus sadar betul bahwa budaya yang diwarisinya hari ini bukanlah miliknya tetapi milik leluhurnya. Karena itu pastilah cara mengaktualisasikannya berbeda. Jadi untuk menolong generasi sekarang bisa mengaktualisasikan budaya leluhur itu sama seperti atau setidaknya mendekati cara generasi dulu maka harus ada proses pembelajaran.

Sebagai contoh lagi tarian maluaya yang lahir dan sudah mendarah daging dalam diri para kesatria Nias zaman dulu harus dipelajari, diselidiki dan dilatih terus-menerus oleh anak-anak muda generasi sekarang yang tidak pernah menyaksikan suasana perang antar banua di masa lalu dan juga tidak sedang terlibat peperangan. Passion harus dibangun. Jika tidak, maka setiap pementasan budaya Nias tidak lebih dari gerak-gerik di tempat, hambar tanpa makna.

Atas semuanya itu masyarakat Nias harus memiliki lembaga adat resmi yang diisi oleh orang-orang yang kompeten. Bertugas untuk melakukan penggalian sekaligus pelestarian budaya kuno Nias. Warisan leluhur lima ratus tahun yang lalu sepertinya masih bisa ditelusuri melalui tua-tua adat yang masih hidup dan dikonfirmasi lewat berbagai dokumen yang memuatnya. Pekerjaan ini penting untuk segera dilakukan. Jika tidak maka entah kemana lagi kita akan bertanya. Dan entah budaya apa yang hendak kita ‘jual.’

Selanjutnya kenapa penetapan tiga elemen budaya Nias sebagai kekayaan intelektual komunal perlu dijadikan momentum dalam merawat budaya lokal? Klaim sepihak! Itulah jawabannya.

Bukan hanya Malaysia yang sering membuat Indonesia kebakaran jenggot setiap kali mengklaim budaya Indonesia sebagai miliknya. Kita pun di dalam negeri tepatnya diantara masyarakat kepulauan Nias perilaku demikian kerap terjadi. Dan yang paling rentan adalah Nias Selatan.

Patut disyukuri daerah ini begitu kaya dengan warisan budaya leluhur. Dan boleh dikatakan hampir semua kekayaan ini pernah menjadi brand pariwisata kepulauan Nias kala Nias Selatan masih menjadi bagian dari kabupaten Nias. Namun setelah pemekaran tahun 2003 kegagapan kepemilikan terjadi setidaknya bagi wilayah di luar Nias Selatan. Mereka kesulitan dalam mengidentifikasikan dirinya dengan apa yang pernah menjadi milik bersama karena semuanya itu berasal dari wilayah yang kini sudah berdiri sendiri.

Dari sini kita dapat melihat bagaimana wilayah-wilayah di luar Nias Selatan termotivasi menggali kembali apa yang merupakan kearifan lokalnya sebagai kompensasi dari kehilangan brand bersama di masa lalu. Sesuatu yang patut diapresiasi.

Kendati demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus ditemukan pementasan budaya tertentu yang menyasar budaya lokal Nias Selatan. Entah disengaja atau tidak. Polanya hampir selalu sama yaitu elemen budaya Nias Selatan dipelajari, dimodifikasi, dipentaskan lalu diklaim sebagai milik setempat. Memprihatinkan. Dan kebanyakan kasus ini terjadi di tanah diaspora, jauh dari tanah kelahirannya. Kasus-kasus seperti inilah yang menjadi alasan kuat untuk melakukan perawatan terhadap budaya lokal menghindari penyerobotan yang tidak perlu.

Sebenarnya kekayaan budaya lokal ini boleh saja menjadi milik bersama. Milik bersama masyarakat kepulauan Nias. Milik Indonesia. Bahkan bila perlu milik dunia. Namun dalam kepemilikan bersama ini satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu akar sejarahnya karena itu berkaitan dengan identitas, jati diri pencetusnya.

Budaya itu adalah cerminan kepribadian sekelompok orang yang menghasilkannya. Sesuatu yang tidak bisa ditempelkan begitu saja menjadi kepribadian kelompok masyarakat lain di luarnya. Kalaupun dipaksakan justru akan terlihat aneh. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali budaya lokal kita harus dirawat dengan baik. (ns1)

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya Nias.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »