Mengawal Pembangunan Monumen Saonigeho Tak Menjadi Monumen Skandal
Oleh Samuel Novelman Wau*
Monumen Kontroversi
Dalam tulisan saya yang lain (Pembangunan Monumen Saönigeho Seharusnya Siapa Menghadap Siapa?) di media ini, saya pernah katakan bahwa niat baik harus disertai dengan etika yang baik pula. Bila tidak maka masalah pasti timbul. Itulah yang sudah dan sedang terjadi dalam ‘megaproyek’ Pemkab Nias Selatan yang hendak mendirikan monumen berupa patung Si’ulu Saӧnigeho di kawasan terpadu pantai Baloho, Nias Selatan.
Sejak awal proyek ini telah menimbulkan banyak kontroversi. Mulai dari bungkamnya pihak Pemkab saat menggagas rencana ini tanpa mengkomunikasikannya dengan pihak ahli waris keluarga Saӧnigeho dan Bawömataluo. Sehingga tidak heran kalau anggota keluarga Saӧnigeho memprotes keras rencana itu – bukan karena mereka tidak menginginkan monumen leluhurnya namun karena etika komunikasi pihak Pemkab yang mengabaikan ahli waris Saӧnigeho dan baru memberitahukan kepada mereka menjelang hari peresmian monumen. Protokol a la Pemkab Nias Selatan ini terhadap ahli waris Saӧnigeho saya sebut: laföfölö furira.
Kontroversi lain dari proyek ini adalah pemilihan lokasi yang menurut ahli waris beliau dan tua-tua adat Bawömataluo tidak merepresentatifkan tempat perjuangan Saӧnigeho yang sebenarnya. Mereka mengusulkan ada baiknya monumen tersebut dibangun di Bawömataluo yang adalah ‘markas besar’ Saӧnigeho selama masa-masa perjuangannya, atau di Simpang Löhö yang masih masuk teritori Bawömataluo dan pernah dirancang oleh Roejoe (baca: Ruyu), anak Saӧnigeho menjadi pusat kota dan pendidikan di Nias Selatan. Pilihan lain adalah di kota Teluk Dalam karena itu merupakan lokasi pertemuan masyarakat banyak.
Dan akan didirikannya patung Saӧnigeho tanpa adanya pengakuan resmi dari Pemkab Nias Selatan terhadap kepahlawanan Saӧnigeho dan belum adanya niat mengajukan kepada Pemprov Sumatera Utara serta kepada pemerintah pusat di Jakarta untuk menominasikan beliau menjadi pahlawan nasional, telah meninggalkan persoalan lain juga. Bila itu sampai terjadi maka sama saja mengecilkan ketokohan Saӧnigeho. Patungnya akan dipandang tidak lebih berarti dari patung-patung lain yang dipajang oleh para developer sebagai properti penghias kota. Memprihatinkan, pejuang Nias di masa lalu yang pernah menyabung nyawanya demi kemerdekaan sukunya sekarang hanya dianggap sebagai penghias kawasan terpadu di Nias Selatan.
Monumen Skandal
Setelah masalah-masalah di atas dianggap sudah ‘terselesaikan’ sekarang muncul lagi masalah baru yakni kesalahan mengidentifikasi foto Saӧnigeho. Kesalahan ini pertama kali saya temukan saat melihat media sosial Facebook salah seorang teman. Di facebooknya terpampang foto baliho hasil jepretannya di kawasan pantai Baloho tepatnya di lokasi yang disebut ‘Monumen Saönigeho.’ Di baliho tersebut ada tulisan SAÖNIGEHO (Tuha Siliwugere) tetapi foto yang diterangkan oleh tulisan tersebut bukanlah Saönigeho.
Kesalahan ini dapat dibandingkan dengan foto Saonigeho sebagaimana yang terdokumentasi dalam website troopenmuseum ini: http://www.free-photos.biz/images/consumer_products/clothes/preview/collectie_tropenmuseum_een_groep_siulu_s_met_hun_verwanten_te_bawomataloewo_zuid-nias_tmnr_10005770.jpg . Dalam foto itu Saönigeho berdiri bersama para bangsawan Bawömataluo. Beliau mengenakan rai ana’a (mahkota emas). Keakuratan foto ini pernah dibenarkan oleh Bazanalui (cucu Saönigeho).
Terasa aneh, foto tokoh sepenting Saönigeho, yang namanya sudah resmi ditabalkan menjadi nama Pangkalan Angkatan Laut Nias Selatan dan akan didirikan patungnya di sana, ternyata tidak bisa dikenali oleh Pemkab Nias Selatan, khususnya developer yang membangun kawasan dan monumen ini. Sangat memalukan.
Yang malu bukan hanya bupati Nias Selatan sebagai pucuk pimpinan di sana dan sekaligus yang mengarahkan pemasangan baliho, namun seluruh masyarakat Nias. Apa yang terjadi kalau patung Saönigeho sudah selesai dibuat dan didirikan? Patung tersebut akan dipublikasikan atas nama Saönigeho tetapi wajahnya orang lain. Kejadian ini saya sebut bukan lagi kontroversi tetapi skandal – perbuatan yang memalukan dan menurunkan martabat seseorang. Bagi ahli waris Saönigeho itu adalah pelecehan terhadap leluhur mereka.
Sepertinya skandal ini sudah terpampang di depan umum saat peresmian pangkalan AL di Nias Selatan pada tanggal 20 November 2014 yang lalu. Namun entah kenapa itu belum terekspos. Apakah karena acara akbar pada saat tanggal 20 November itu membuat undangan dan masyarakat larut dalam pesta sehingga kesalahan fatal itu tidak lagi diperhatikan? Apakah karena kehadiran Laksamana TNI Dr. Marsetio, M.M begitu menyita perhatian sehingga sosok Saӧnigeho tiba-tiba tenggelam? Atau karena bupati Nias Selatan, panitia acara pada hari itu dan developer monumen memang tidak mengenal siapa Saӧnigeho yang sebenarnya sehingga fotonya pun tidak bisa diidentifikasi?
Apapun jawabannya, satu hal yang mau saya sampaikan, Pemkab Nias Selatan secepatnya menurunkan baliho itu, dan meminta maaf kepada masyarakat Nias khususnya warga Bawömataluo dan ahli waris keluarga Saӧnigeho. Dan kalau patung Saӧnigeho sudah terlanjur dibuat maka itu harus segera diganti atau dibentuk ulang sesuai dengan foto Saӧnigeho yang sebenarnya. Jangan biarkan niat baik mendirikan patung Saӧnigeho dalam perjalannya berubah menjadi monumen sarat skandal yang akan mempermalukan kita semua.
Mengawal Monumen Saӧnigeho
Kesalahan sudah terjadi, tugas kita sekarang adalah memperbaikinya supaya itu tidak makin menjadi-jadi. Lewat tulisan ini saya mendorong Pemkab Nias Selatan untuk segera menyelesaikan hal-hal yang saya sebut di bagian pertama sebagai ‘Monumen Kontroversi’ dan terlebih di bagian kedua yang saya sebut sebagai ‘Monumen Skandal.’ Untuk menyelesaikan semuanya itu tidak ada pilihan lain, Pemkab Nias Selatan dan ahli waris keluarga Saӧnigeho harus bertemu kembali dan bicara. Adalah bijak bila Idealismae Dakhi, Bupati Nias Selatan di tengah kesibukannya yang begitu banyak mau meluangkan sedikit waktunya untuk datang langsung ke Bawömataluo dan berkunjung ke rumah Saӧnigeho. Cara ini saya sebut moadu-madu zimöi, ba moadu-moadu göi ziso. Elegan, bukan?
Komunikasi antara kedua belah pihak bisa disebut sebagai upaya mengawal bersama pembangunan monumen tersebut – mea möi ya ba nahania dan tidak lagi menimbulkan kontroversi terlebih berubah menjadi skandal yang mempermalukan kita semua. Masyarakat umum pun dapat berpartisipasi mengawal monumen Saӧnigeho ini dengan cara memberikan masukan-masukan positif dan mengingatkan bila ada kekeliruan seperti yang terjadi dalam hal mengidentifikasi foto Saӧnigeho. Saya melihat upaya ini sudah dilakukan khususnya lewat media sosial. Respon tinggi terhadap rencana pembangunan monumen ini mengindikasikan bahwa masyarakat banyak terus memantaunya.
Berkaitan dengan kesalahan Pemkab Nias Selatan dan developer dalam mengidentifikasi foto Saӧnigeho, ada baiknya bila itu diklarifikasi langsung dengan pihak ahli waris Saӧnigeho. Merekalah pihak yang paling tahu sosok leluhurnya dan yang mana foto aslinya. Untuk diketahui juga keluarga ahli waris masih memiliki sejumlah foto lain Saönigeho, salah satunya foto beliau yang sedang duduk di ruang pribadinya.
Foto-foto ini mesti bisa dimanfaatkan oleh Pemkab untuk membandingkan dan menguji keakuratan foto Saönigeho sebelum pembuatan patung dikerjakan. Kembali, harus ada kerendahan hati dari Pemkab dan developer untuk bertanya. Dan dari foto beliau yang akan ditujukan pihak keluarga, patung beliau dapat dikerjakan. Selamat membangun. Ya’ahowu.
*) Penulis adalah Pemerhati Budaya Nias, tinggal di Jakarta.
setiap pekerjaan tetap ada pengawasan supaya tidak ada kendala untuk hasil yang dicapai. salam pula NIas