Nias Maju, “Wani Piro”?
Oleh: Memoriang Zebua*
Ini cuma celetukan. Serius. Tidak usah terlalu memaksakan diri menganalisa apalagi melakukan penggalian makna segala. Tidak ada maksud apa-apa. Membacanya, tidak perlu mengerutkan kening dengan lipatan lebih dari satu apalagi kalau sampai berlipat-lipat. Itu sangat berlebihan. Jadi, santai saja. kalau perlu baca sambil menyomot pisang goreng atau gowirio ni dökhi. itu lho makanan olahan gawe-gawe di Nias, yang selalu rajin pulang dari kebun dengan setenteng singkong di tangan, heheh!
Celetukan biasanya terlontar secara spontan saat memberikan tanggapan terhadap sebuah pernyataan, peristiwa atau situasi. Ia adalah sebuah spontanitas. Refleks kata yang keluar dari mulut saat otak masih loading dan belum sepenuhnya melakukan analisa. Oleh sebab itu, celetukan lebih sering dianggap sebagai angin lalu. Tanpa makna, sehingga dalam waktu singkat dapat terlupa begitu saja. Baik oleh sipenyeletuk maupun orang yang diceletuki.
Akan tetapi, sebenarnya sebuah celetukan bisa diandalkan untuk membangun dan menghidupkan sebuah suasana. Tak jarang sebuah situasi yang kaku dan canggung dapat berubah menjadi cair dan santai oleh karena sebuah celetukan yang ringan, namun tepat sasaran.
Para komika yang beraksi di panggung-panggung stand up comedyi tak jarang menjadikan celetukan sebagai andalan mereka untuk membangun suasana. Cuma, perlu diingat juga, jangan sampai salah menyeletuk. Bisa digebuk orang sekampung jika celetukan dilakukan dengan cara yang salah. Maksud hati ingin bercanda, yang didapat malah bencana. Ini seperti membangunkan macan tidur. Malapetaka tak terduga siap menanti. Nggak percaya? cobalah celetuki bos Anda yang sedang menggandeng istrinya yang hot dan seksi. Dijamin Anda harus segera siap-siap cari pekerjaan baru di tempat lain. Pembaca sekalian, ternyata sekalipun terlihat sepele, rasanya perlu ilmu yang mumpuni juga rupanya untuk menjadi penyeletuk andal.
Nah, kembali kepada celutukan yang saat ini saya jadikan sebagai judul tulisan. Oh ya, hampir lupa. Wani piro adalah sebuah celutukan dalam bahasa Jawa. Artinya, kurang lebih, berani bayar berapa. Efek punya suami orang Jawa, sedikit familiar dengan celetukan-celetukan yang sering terlontar dalam percakapan ringan sehari-hari. Celutukan ini biasanya keluar saat ada tantangan atau permintaan melakukan sesuatu.
Contohnya: “Mau dong dibuatin the”, atau “Temani keluar bentar, dong.” Kalau mood lagi nggak enak, biasanya celetukan “wani piro” bisa meluncur mulus, keluar dari mulut. Tak jarang celetukan yang satu ini juga jadi modus untuk minta upah. “Bajunya biar wangi, kamu yang setrika ya,” demikian suami biasanya minta tolong. Lagi pingin sesuatu tapi masih tunggu momen yang pas untuk meminta, inilah saatnya. Celetukan “wani piro?” akan jadi pendahuluan yang paling tepat.
Dalam konteks tulisan saya ini, celetukan “wani piro” saya tempatkan sebagai sebuah self–talk (omong sendiri, dijawab sendiri) dimana saat ini saya masih terus memikirkan pulau Nias dan perkembangannya, yang di emosi itu, rasanya benar-benar bikit geregetan. Bagaimana tidak, saat daerah lain sedang sibuk mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi, Nias masih berkutat dengan permasalahan infrastruktur dasar. Ibarat orang pengen terbang, sudah ada pesawatnya, eh… bahan bakarnya belum diisi. Terpaksa, sebelum bahan bakar tersedia, pesawat harus parkir terlebih dahulu. Sampai bahan bakar yang diperlukan tersedia dan pesawat siap lepas landas.
Nias punya potensi untuk maju. Wilayah yang luas dan penduduk yang lumayan banyak menjadi modal dasar untuk pembangunan. Tanahnya juga subur sehingga dapat menunjang sektor pertanian dan perkebunan. Juga terdapat banyak spot alam yang, apabila serius digarap, akan mengundang wisatawan berbondong-bondong datang. Dan itu artinya perolehan devisa bagi kas daerah.
Akan tetapi, coba kita liihat apa yang sekarang terjadi di pulau Nias tercinta. Boro-boro menggarap potensi wisata secara serius, pembangunan jalan dan jembatan yang sangat diperlukan untuk memutar roda perekonomian saja sama sekali tidak serius dilakukan. Lokasi atau wilayah dengan aspal dan jalan raya yang bagus, dapat dihitung dengan jari. Bagus yang dimaksud pun tidak bisa disamakan dengan bagusnya jalan raya di daerah lain. Misalnya, daerah Bali, tempat saya dan keluarga berdomisili sekarang ini. Jauhnya pake bingitzzzz, meminjam istilah para ABG alay, ibarat bumi dan langit.
Terakhir berkunjung di sana, kota Gunungsitoli sebagai salah satu pusat administrasi di pulau Nias terlihat kumuh seperti tak terurus. Bangunan-bangunan dari instansi pemerintahan sekalipun dibiarkan tanpa perawatan. Termasuk Pendopo yang terletak di jantung kota. Bangunannya begitu lusuh. Cat yang mengelupas dan lumut yang mulai bertempelan sangat menganggu pemandangan. Sampah pun terlihat berserak dimana-mana. Bikin kepala pening dan jidat mengerut. Di mana letak keindahannya?
Sebagai orang Nias, jujur saya termasuk orang yang sangat menginginkan pulau Nias dapat berkembang dan maju, sejajar dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Tak usahlah menjadi pulau impian seperti jargon yang sekarang lagi happening itu. Minimal bisa swasembada pangan, mencukupi kebutuhan logistik dasarnya sendiri seperti beras, sayur dan buah-buahan tanpa harus import dari tempat lain, itu rasanya sudah luar biasa. Dan kalau ternyata bisa mencapai kemajuan yang lebih besar lagi dari itu, tidak cuma saya, seluruh masyarakat Nias barangkali patut menggelar sukuran tujuh hari dan tujuh malam.
Eits… stop dulu, bagian yang ini, asli cuma terjadi dalam mimpi. Uang siapa memangnya mau dihambur-hamburkan untuk pesta tujuh hari tujuh malam? Melihat para pejabat daerah Nias sekarang ini saja banyak yang bisa berurusan dengan KPK atau penegak hukum lainnya gara-gara gelar pesta sehari semalam untuk syukuran di awal periode jabatan, apapula ceritanya pesta tujuh hari tujuh malam.
Banyak harga dan tidak sedikit pengorbanan yang harus dibayar jika menginginkan Nias maju dan berkembang. Komitmen, kerja keras, pengorbanan dan kejujuran adalah modal dasar yang harus dimiliki. Menyusul kerjasama dan kekompakan dari seluruh masyarakat Nias sendiri. Stop budaya konsumerisme dan beralihlah menjadi masyarakat yang produktif. Galakkan UKM (usaha kecil menengah) dengan menggali semua potensi yang ada. Kita bisa asal kita mau. Pepatah kuno berkata, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Kesuksesan itu adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan, konon para motivator-motivator beken itu, pernah berkata. Kesempatan untuk maju telah terbuka lebar untuk pulau Nias. Sayang, kesiapan yang dipunyai masih sangat, sangat memprihatinkan. Jadilah kesuksesan harus tertunda dan tertunda lagi. Entah sampai kapan.
Oleh sebab itu, ingin Nias maju dan sejajar dengan daerah-daerah lain? Masih dengan celetukan yang sama, “wani piro?!”
*Penulis adalah warga Nias, berdomisili di Bali.
Semoga ujar ujar atau celoteh wani piro tidak menjadi budaya yang mengakar di nias baik di lingkungan pejabat daerah, aparat dan juga masyarakat. Wani piro ucapan yang biasanya mempunyai makna meminta imbalan ketika pekerjaan belum dilakukan atau bisa juga tidak mau berbuat jika tidak ada gunanya buat pribadi atau kelompok orang tersebut pada saat itu. Nias yang nota bene mempunyai putra putri terbaik sejak jaman pra kemerdekaan tetapi daerah nias pada umum nya sangat jauh tertinggal dengan daerah lain. Oleh karena itu wani piro “berani berapa” dan nrimo ing pandum ” menerima apa adanya” tidak dan menjadi budaya di Nias.
Yaahowu
Budaya tidak terbangun dari sebuah celutukan..
Justeru sebaliknya, budaya “menciptakan” celutukan.. lagi pula harus melihat konteks nya.. dalam hal ini, konteks yg di pakai adalah tantangan, seberapa jauh masyarakat Nias bersedia “membayar” harga yang diminta jika ingin nias maju dan berkembang. Harga yang dimaksud adalah pengorbanan, kerja keras, komitmen dan kejujuran. Mau nggak orang2 Nias memberikan itu semua?? Kalau tidak mau, ya nggak usah mimpi Nias bisa maju seperti daerah2 lain.. hehe!
Excellent bu Zebua. Ternyata ide dasarnya serius bukan hanya cltkn. Mode sekarang adalah ceramah2, pertemuan2, penyadaran2, bimbingan2, etc. Sering ide2 di copy paste saja dari text book semisal k.13. Padahal filsafat orang Nias, minimal di lingkungan saya adlh I’ILA HORO IBABAYA TANGA. Orang Jerman bilang Sitz im Leben. Saya sangat setuju dgn metode yg sdg (atau sudah) direncanakan oleh Dr Hilarius Duha. IPB yang dipanggil langsung ke Nias. Bukan seperti kebanyakan selama ini Orang Nias ysng dipanggil ke Bogor. Wani piro bu. Saya mulai hafal bhs Jawa. Trims artikelnya inspiratif.