PROF. DR. ING. GAGOEK HARDIMAN & IR. AGUNG DWIYANTO

Bawömataluo Sangat Mengesankan dan Istimewa

Prof. Dr. Ing Gagoek Hardiman| Dok. Pribadi/FB

Prof. Dr. Ing Gagoek Hardiman| Dok. Pribadi/FB

NIASSATU, JAKARTA – Prof. Dr. Ing. Gagoek Hardiman dan Ir. Agung Dwiyanto, MSA, keduanya adalah guru besar dan dosen pada Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Jawa Tengah baru saja meluncurkan buku baru mereka pada September 2016.

Kedua orang yang ahli di bidang lukisan sketsa tersebut menjadikan pengalaman perjalanan mereka di Pulau Nias, khususnya di Desa Bawömataluo dan beberapa tempat lainnya di sana menjadi catatan historis sekaligus karya seni luar biasa indah melalui penerbitan buku berjudul “Nias (Bawömataluo Village) in Sketches”. (Baca: Menikmati Sisi Lain Keindahan Nias Melalui Lukisan Sketsa)

Buku dengan 122 halaman tersebut berisi mayoritas lukisan sktetsa berbagai sisi kekayaan keindahan Desa Bawömataluo. Juga ada beberapa foto Desa Orahili Fau, Bandara Binaka, Museum Pusaka Nias (MPN) dan Pantai Sorake.

Kepada redaksi Nias Satu, Prof. Gagoek mengatakan, pertama sekali mendengar mengenai Desa Bawömataluo dari perkuliahan arsitektur tradisional di jurusan arsitektur, Fakultas Teknik UNDIP. Selain itu, juga dari informasi di televisi karena desa itu sering diberitakan dan dari teman-temannya yang pernah berkunjung ke Nias.

“Kesan sangat impressive (mengesankan). Benar-benar budaya yang original (bangunan, arsitektur, seni kerajinan, budaya). Misalnya, yang saya lihat: acara duka cita karena ada yang meninggal, seni suara lagu tradisional yang langsung dinyanyikan oleh Naso Wau (salah satu vokalis Grup Siwa Sanora yang didirikan oleh budayawan Nias alm. Hikayat Manao, red) sambil memetik gitar, lokasi bangunan di atas bukit dikelilingi panorama indah, dan lain-lain seperti saya tulis di buku sktesa,” ujar Prof. Gagoek menjelaskan kesan pertamanya berada di Desa Bawömataluo. 

Peraih gelar Dr. Ing dari Fakultas Arsitektur dan Perencanaan Kota Universitas Stuttgart, Jerman pada 1992 tersebut mengatakan, menyaksikan Hombo Batu (Lompat Batu) merupakan pengalaman tersendiri.

“Ceritera/informasi mengenai hombo batu sangat-sangat menarik orang untuk melihat live (langsung). Karena tidak ada duanya di dunia. Hombo batu sangat mengesankan apalagi bisa menyaksikan live,” tambah dia.

Ir. Agung Dwiyanto | Dok. Pribadi/FB

Ir. Agung Dwiyanto | Dok. Pribadi/FB

Sementara itu, secara terpisah, Ir. Agung mengungkapkan, dia mulai mengenal Nias khususnya Desa Bawömataluo di antaranya dari media di kampus.

“Awalnya sejak mahasiswa sudah mengenal Nias khususnya desa Bawömataluo dari media, kampus, dan lain-lain. Selalu memimpikan untuk bisa  berkunjung. Pada 2015 mengetahui bahwa Prof. Yoyok dari UGM (Ketua Tim riset UGM-Jepang untuk pengajuan Desa Bawömataluo menjadi Warisan Dunia di Unesco, red) sedang melakukan penelitian di sana bersama profesor-profesor dari Tsukuba University, Jepang. Saya memohon ijin untuk dapat ikut melihat dan terlibat pada kegiatan tersebut dan melibatkan adik-adik mahasiswa arsitektur Undip dan Prof. Gagoek. Dan pada 2016, terwujudlah mimpi tersebut,” jelas alumni program magister Teknik Arsitektur ITB Bandung tersebut.

Ir. Agung yang juga salah satu dari lima karya terbaik kompetisi planair Artland-Bandung 2016 tersebut menjelaskan kesannya pertama sekali tiba di Bawömataluo.

“Untuk arsitektur bangunan dan fasade desa masih seperti ekspektasi yang saya bayangkan, istimewa. Kemampuan menahan gempa sangat hebat. Bahkan profesor-profesor dari Jepang saya dengar sendiri mereka terkagum-kagum kalau bangunan di sana dalam Skala Richter (kekuatan gempat) bisa mencapai level 15,” tambah dia.

Akan tetapi, dia juga mengakui agak kecewa dengan kondisi fisik bangunan akibat penggunaan bahan bangunan yang dipaksakan seperti seng, beton dan lain sebagainya. Namun, atas keadaan itu, Agung  ‘bisa memakluminya’.

“Tapi  itulah perkembangan industri, media dan keterbatasan biaya,” ujar dia.

Pelestarian

Tak berhenti sampai di situ, keduanya juga berbicara mengenai pentingnya pelestarian kekayaan budaya di desa itu hingga bagaimana ‘menjual’nya sebagai aset dan destinasi wisata.

“Bangunan baru yang berdampingan langsung dengan bangunan tradisional di desa adat Bawõmataluo atau di Orahilli seharusnya menyesuaikan dengan bangunan asli. Kalau bisa saja, tetapi kalau tidak bisa, diusahakan agar selaras dengan arsitektur lama sehingga tidak sangat kontras apabila nampak di foto,” kata Prof. Gagoek.

Kemudian, untuk para turis, disediakan layanan jasa untuk foto dengan pakaian adat dan asesoris adat lengkap dengan pedang dan perisai.

“Juga disediakan buku sejarah lengkap dengan foto dan gambar mengenai budaya Nias yang bisa dibeli oleh turis,” kata penulis gambar ilustrasi kumpulan cerpen “Kepak Sayap Kelelawar di Langit Jakarta” tersebut.

Dan yang juga akan sangat menarik turis  adalah mengizinkan mereka untuk menginap di rumah adat karena akan memberikan kesan yang sangat spesial.

“Bisa tidur di rumah adat juga sangat mengesankan. Tawaran kepada turis lokal dan manca negara  untuk tidur di rumah adat merupakan atraksi yang sangat spesial,” tutur dia.

Menurut dia, menginap di rumah adat milik warga yang difungsikan sebagai home stay ataupun pembangunan penginapan khusus, sama-sama di perlukan.

Gereja BKPN Bawömataluo, salah satu sisi ikonik desa itu seperti termuat dalam buku "Nias (Bawömataluo Village) in Sketches" karya Gagoek Hardiman & Agung Dwiyanto | Repro oleh Redaksi Nias Satu

Gereja BKPN Bawömataluo, salah satu sisi ikonik desa itu seperti termuat dalam buku “Nias (Bawömataluo Village) in Sketches” karya Gagoek Hardiman & Agung Dwiyanto | Repro oleh Redaksi Nias Satu

“Dua-duanya penting. Karena ada turis seperti saya yang ingin merasakan suasana yang langsung berbaur. Ada yang ingin menikmati alam dan budaya Nias tapi nginep-nya di tempat yang memang khusus untuk menginap,” tandas dia.

Sementara Ir. Agung mengatakan, pelestarian membutuhkan keterlibatan dan kerja sama semua pihak. Pelestarian tidak bisa dihindarkan agar tidak menjadi penyesalan di kemudian hari.

“Melestarikan itu mahal, tidak dapat dilakukan sendiri. Harus melibatkan banyak pihak dan memiliki kesungguhan dalam melaksanakannya. Kalau setengah-setengah, hanya tambal sulam dan suatu saat kita semua akan menyesalinya,” tutup dia. (ns1)

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »