SERI KEBIJAKSANAAN NIAS

Yahumalö Khöu Sanau Bölökha

Etis Nehe | EN

Etis Nehe | EN

Oleh Etis Nehe*

Tradisi, budaya atau sistem sosial kehidupan masyarakat Nias memiliki banyak sekali perangkat dan prosedur perlindungan atas kehidupan pribadi, komunitas hingga alam dan harta benda. Sistem perlindungan tersebut salah satunya tercakup dalam hukum adat.

Meski begitu, tetap saja ada kasus dimana seseorang bisa berlaku sewenang-wenang dan tidak bisa dijerat oleh sistem hukum adat maupun hukum positif (hukum nasional). Bisa karena si pelaku tidak mau peduli dengan norma-norma adat dan konsekuensinya, juga bisa karena posisi si pelaku yang memiliki strata adat yang tinggi, berkuasa secara politik dalam komunitas, maupun karena punya kemampuan finansial yang membuatnya bisa memengaruhi sistem peradilan adat, baik dengan ancaman maupun ‘sogok’.

Bisa juga, si pelaku tidak diketahui sama sekali. Sebab, perbuatannya dilakukan secara diam-diam, susah terlacak, atau menggunakan tangan pihak lain. Atau meski diketahui jelas sebagai pelaku namun si korban tidak memiliki bukti konkrit untuk menjerat pelaku. Kalaupun bukti-bukti itu ada, namun karena kelihaiannya maupun karena dukungan jaringannya membuat bukti-bukti yang ada tidak cukup menjeratnya dengan telak.

Untuk keadaan seperti itu, biasanya, dan umumnya, kelompok masyarakat biasa, strata terbawah, ekonomi kecil, miskin sering jadi korban empuk orang-orang arogan dan merasa bisa mengendalikan hukum. 

Yang menarik, ternyata sistem sosial atau apa yang bisa disebut sebagai kebijaksanaan lokal (local wisdom) masyarakat Nias, masih memiliki lapisan lain sistem perlindungan tersebut. Sistem perlindungan tersebut tidaklah berada dalam struktur normatif hukum adat. Tapi, terletak pada diri setiap orang yang diperlakukan tidak adil. Dan, setiap orang itulah (yang diperlakukan tidak adil) yang menjadi hakim untuk menjatuhkan vonis atau memberlakukan sistem perlindungan itu.

Lapisan terakhir sistem perlindungan tersebut terekspresi dalam bentuk pemberian hukuman kepada si pelaku melalui doa atau kata-kata kutukan (fangelifi). Ada banyak bentuk dan situasi dimana pemberian kutukan itu dilaksanakan. Mulai dari yang paling ringan, halus hingga yang paling fatal.

Ungkapan “Yahumalö Khöu Sanau Bölökha” adalah salah satu bentuknya.

Ungkapan itu khas ditemukan di antara masyarakat Nias Selatan (khususnya wilayah Teluk Dalam, Nias Selatan sebelum pemekaran). Biasanya diungkapkan pada situasi sangat khusus dan genting. Yakni, di titik akhir perjuangan, di titik akhir pengabaian dan perlakuan tidak adil.

Secara literal, ungkapan di atas berarti “akan diambil dari padamu oleh Yang tangannya lebih panjang.” Sebuah ungkapan simbolik mengenai keyakinan bahwa ada hukum, kuasa, kodrat atau sistem alam semesta yang akan bereaksi dan menjelma menjadi pemberi keadilan bagi yang diperlakukan tidak adil. 

Secara simbolik, pernyataan itu juga merujuk kepada sesuatu yang lebih besar/lebih kuat dan berkuasa untuk mengambil semua yang pernah direnggut seseorang dari korbannya. Yang direnggut itu bisa bermacam-macam bentuknya. Kesuksesan, kebesaran, nama baik, kekuasaan dan apapun itu yang diperoleh dengan cara-cara yang menindas, menipu, berbohong, mencuri, korupsi, perlakuan ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan.

‘Siapa’ yang akan mengambil itu biasanya dikonotasikan dengan sosok Tuhan yang dipercaya sebagai satu-satunya yang pantas dan berkuasa melakukan pembalasan. Namun, perwujudan kehadiran Tuhan yang menuntut balas itu bisa dalam banyak rupa yang biasanya negatif. Bentuknya, bisa berupa bencana, kemalangan, kecelakaan, kehancuran masa depan, kematian, kesakitan, kemiskinan, masalah hukum, persoalan demi persoalan yang mendera, dan lain sebagainya.

Mengapa ungkapan Yahumalö Khöu Sanau Bölökha tersebut sangat menakutkan?

Sebenarnya dalam konteks masyarakat tradisional Nias dahulu, ungkapan itu dipercaya secara literal berarti atau salah satu bentuk dari mangelifi (mengutuk[i]). Dalam kehidupan tradisional masyarakat Nias sendiri ada banyak bentuk dan alasan untuk melakukan praktik mengelifi. Dan ungkapan dalam artikel ini, bila dilihat sebagai bentuk kutukan, maka merupakan salah satu kutukan yang cara penyampaiannya sangat ‘halus’ dan bahkan terdengar seperti kalimat doa pada umumnya.

Pengaruh keyakinan Kristiani yang kemudian membuat praktik mangelifi itu sudah tidak lagi selalu dilakukan secara menonjol namun ‘termodifikasi’ sebagai doa pemasrahan diri kepada Tuhan, agar Tuhan yang melakukan pembalasan. Tetapi, tetap saja sisi mangelifi dari pernyataan itu tidak hilang sama sekali. Hanya tersamarkan.

Jadi, sederhananya, ungkapan tersebut adalah doanya orang-orang tertindas, yang mengandung unsur kutukan yang diyakini tak mungkin tidak, akan dirasakan akibatnya oleh si pelaku dengan tiada ampun. Cepat atau lambat. Baik pada diri si pelaku, maupun pada generasi berikutnya atau pada orang-orang di sekitarnya.

Mangelifi adalah salah satu situasi yang sangat tak biasa, tidak mudah dilakukan, dan juga mengerikan bila sampai hal itu terjadi. Sebab, tindakan mangelifi itu dipercaya pasti terjadi dan menimpa orang yang ditujukan kata-kata fangelifi (kutukan) tersebut. Sebab, fangelifi itu dipercaya punya daya magis atau mistis yang menimbulkan risiko buruk kepada siapa hal itu ditujukan, terlepas apakah orang itu mendengar langsung atau tidak ketika ungkapan itu dinyatakan.

Karena akibatnya yang berat itu, ungkapan fangelifi tidak mudah diucapkan, apalagi diumbar. Tetapi, bila terpaksa dan memenuhi syarat untuk diungkapkan, maka itu pasti akan diungkapkan. Itu sebabnya, penyampaian kata-kata kutukan tersebut selalu disertai dengan suasana kesedihan, kemuraman dan ketidaktegaan. Tetapi, terpaksa dilakukan.

Ilustrasi Invisible Hand yang diciptakan oleh Mark Bailen dan disalin dari http://percaritatem.com/tag/smiths-invisible-hand/

Ilustrasi Invisible Hand yang diciptakan oleh Mark Bailen dan disalin dari http://percaritatem.com/tag/smiths-invisible-hand/

 

Kabar buruknya, ungkapan di atas bila dinyatakan, tidak selalu dalam bentuk pernyataan secara terbuka yang bisa didengar orang banyak atau oleh orang yang ditujukan kata-kata itu. Ungkapan itu bisa diungkapkan dalam bentuk gumaman yang hanya terdengar oleh pengucap sendiri, atau ‘berbicara dalam hati’, sehingga orang yang ditujukan kata-kata itu tidak akan pernah tahu kalau dia sedang dikutuk.

Karena itu, sistem ini mengasumsikan bahwa setiap orang harus menjaga dirinya agar tidak memperlakukan orang lain secara semena-mena agar terhindar dari risiko-risiko yang mungkin dialami akibat perbuatan yang tidak semestinya kepada orang lain. Artinya, setiap orang berkewajiban menjaga harmoni dengan orang lain, termasuk tidak berbuat sesuka hati dengan melanggar hak-hak orang lain.

Intinya, salah satu kebijaksanaan lokal Nias tersebut mengajarkan bahwa setiap orang harus sadar, ada Kuasa yang lebih tinggi, yang akan meminta pertanggungjawaban atas setiap perbuatan. Bahwa orang-orang lemah tidaklah tanpa pembela. Tanpa penuntut keadilan atas hak-hak mereka. Bahwa ada yang akan menegakkan keadilan bagi mereka yang tertindas, yang diperkosa hak-haknya, teraniaya, terabaikan, dibuang atau diperlakukan tidak manusiawi.

Seseorang mungkin dengan segala kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya bisa memenangkan setiap pertarungan hukum meski dengan cara-cara curang. Namun tidak berarti seseorang itu akan benar-benar bisa menang dan melenggang. Sebab, ada hukum yang tak mungkin dilawan, yakni, bahwa setiap orang akan menerima akibat dari setiap perbuatannya. Karena, seperti dalam ungkapan Jawa dan juga sebagaimana Kitab Suci ajarkan, bahwa “Gusti Ora Sare (Tuhan tidak tidur)”. Karena itu, Dia akan membela orang-orang yang lemah, para korban ketidakadilan, perlakuan semena-mena. Cepat atau lambat. (ns)

Catatan: Artikel ini adalah pengembangan dari bagian artikel penulis yang pernah ditayangkan dengan judul Luruskan Hati, Tegakkan Pilar di situs NiasOnline.Net pada 29 Maret 2007.

*Penulis adalah pemerhati budaya Nias, tinggal di Jakarta.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »