THEOCENTRIC LEADERSHIP SERIES

Kepemimpinan yang Melayani (II)

Eloy Zalukhu | Dok. Pribadi

Eloy Zalukhu | Dok. Pribadi

Catatan Redaksi:

Ini adalah artikel ketujuh dari sembilan artikel penting tentang kepemimpinan yang ditulis oleh putra Nias yang juga dikenal sebagai Theocentric Motivator, Eloy Zalukhu. Artikel ini, seperti disebutkan Eloy kepada Redaksi, pernah dimuat di Majalah Inspirasi dan saat ini sedang dalam persiapan untuk dijadikan buku. Sebelum menjadi buku, Eloy membagikan artikel ini kepada warga Nias (tentu saja juga termasuk siapa saja pengunjung situs ini). Semoga menjadi bahan pemikiran dan mengubahkan. Selamat menikmati.

=======

 

Oleh Eloy Zalukhu, MBA.

Pada artikel sebelumnya, kita sudah mulai membahas mengenai prinsip kedua dari Theocentric Leadership Model yaitu Servantship. Apakah yang dimaksud dengan servantship atau servant leadership? Dari banyak referensi, satu sosok yang mempopulerkan istilah tersebut adalah Robert K. Greenleaf [1904-1990]. Pada tahun 1970 untuk pertama kalinya dia memaparkan konsep ini dalam tulisan berjudul “The Servant as Leader”.

Namun perlu diketahui, seperti dijelaskan oleh Dr. Sen Sendjaya dalam buku berjudul “Personal and Organizational Excellence through Servant Leadership”, bahwa Greenleaf memperkenalkan konsep tersebut tidak berdasarkan suatu hasil penelitian terhadap para pemimpin perusahaan ternama atau sejumlah individu dengan posisi bergengsi, melainkan hasil perenungannya terhadap sebuah buku berisi perjalanan spiritual karya Herman Hesse pada tahun 1956, berjudul “The Journey to The East.”

Penjelasan ini terdapat pula dalam buku karya Robert K. Greenleaf (anniversary edition) halaman 21-22. Tokoh sentral dalam buku Herman Hesse bernama Leo yang ikut dalam rombongan yang sedang melakukan perjalanan spiritual. Leo bertugas sebagai seorang pelayan yang menyelesaikan hal-hal yang kelihatan biasa saja seperti mempersiapkan makanan. Selain itu, Leo juga menghibur anggota rombongan dengan semangatnya dan lagu-lagunya. Semuanya berjalan baik, sampai saat ketika Leo menghilang dan meningalkan kelompok tersebut.

Sejak saat itu kelompok ini menjadi berantakan dan perjalanan spiritual itu pun dibatalkan alias gagal. Beberapa tahun kemudian Leo ditemukan dan ia pun diajak bergabung kembali untuk meneruskan perjalanan spiritual tadi. Kemudian sang narator dalam cerita itu menjadi sadar bahwa Leo yang selama itu dikenalnya sebagai seorang “pelayan” pada kenyataannya adalah “pemimpin” sesungguhnya dari kelompok itu. Bagi Greenleaf cerita ini dengan jelas mengatakan bahwa para pemimpin besar pertama-tama adalah sebagai pelayan.

Demikianlah bagaimana istilah servant leadership mulai dikenal dalam dunia bisnis. Namun sebetulnya prinsip ini sudah muncul jauh sebelum Hesse maupun Greenleaf. Walaupun istilah yang sama tidak ditemukan dalam Alkitab tetapi konsep itu telah diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya 2000 tahun lalu. Misalnya, Injil Markus 10 mencatat percakapan Yesus dengan murid-muridNya sbb:

Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. 10:43 Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, 10:44 dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. 10:45 Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

Dengan tegas Yesus membandingkan kepemimpinan dunia, yang berpusat pada kepentingan diri dan ambisi pribadi dengan kepemimpinan yang berpusatkan kepada Tuhan (Theocentric). Dengan jelas pula Yesus mengajarkan dan menjadi teladan pemimpin yang melayani. Kemudian Injil Yohanes 13 mencatat momen ketika Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya:

13:12 Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? 13:13 Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. 13:14 Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; 13:15 sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. 13:16 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. 13:17 Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.

Kesalahpahaman Tentang Servant Leadership

Istilah ini banyak menimbulkan kesalahpahaman karena banyak  yang tidak memahami bagaimana ‘memimpin’ dan ‘melayani’  bisa bersatu.  Kalau pun bisa, menurut mereka, yang melakukannya pasti hanya para pemimpin agama atau organisasi sosial. Di dunia bisnis, dimana memperoleh keuntungan adalah fokus utama dan persaingan terus-menerus mengejar, pastilah gaya kepemimpinannya berbeda.

Keengganan lain yang adalah asosiasi kata servant/pelayan dengan slave/budak. Seakan-akan, pemimpin yang melayani adalah pembantu atau bahkan budak orang-orang yang dilayani. Ketakutan lain bahwa servant leadership akan membuat seorang pemimpin kehilangan ketegasan dan kurang dihargai oleh anggota tim, sehingga hasil yang diperoleh tidak akan maksimal. Padahal layaknya harapan semua orang bahwa pemimpin hadir untuk mengubahkan sesuatu menjadi lebih baik. Hal itu harus dibuktikan dengan hasil kerja nyata.

Namun ketika mempelajari kehidupan para pemimpin besar ternyata banyak diantara mereka yang memiliki filosofi dan teladan dari servant leaders, seperti misalnya Mahatma Gandhi, Martin Luther King Jr., Mother Teresa, Nelson Mandela. Dalam bisnis, misalnya berdasarkan survei tahunan yang dilakukan oleh Fortune Magazine dalam “Top 100 Best Companies to Work for in Amerika”, banyak perusahaan pemenang yang memegang dan menjalankan filosofi Servant Leadership, seperti Southwest Airlines, Ritz-Carlton, ServiceMaster, Nordstorm dan Synovus Financial.

Untuk itu, dalam buku Leading at a Higher Level, Ken Blanchard menjelaskan bahwa kepemimpinan secara sederhana terdiri dari dua bagian:  pertama,  penetapan visi,  kedua,  bagian implementasi. Setelah anggota tim mengerti betul  visi yang ingin diwujudkan barulah sang leader memimpin tahap implementasi dengan service mind-set atau servant leadership.

Menurut pemaparan Myles Munroe dalam buku “Spirit of Leadership” bahwa servant leadership is about serving in the area of gifting. Artinya, setiap orang Tuhan ciptakan untuk memperbaharui sesuatu. Untuk menggenapi panggilan itu, maka Tuhan memberikan bakat atau potensi kepada masing-masing orang. Ketika seseorang menggunakan bakatnya dan mewujudkan panggilan hidupnya yaitu memperbaiki atau mengembangkan sesuatu, di situlah ia menjadi pelayan bagi banyak orang.

Lebih jauh Dr. Sen Senjaya memaparkan istilah voluntary subordination sebagai salah satu jawaban terhadap kesalahpahaman di atas. Kata kuncinya adalah ‘sukarela’ yang menunjukkan bahwa pemimpin melayani karena mereka ingin, bukan karena mereka harus.

Ini artinya, melayani orang lain secara sukarela adalah tentang memahami perbedaan antara memiliki kuasa dan memiliki kebutuhan untuk berkuasa. Pemimpin pelayan memiliki kuasa, tetapi kebutuhan mereka akan kekuasaan rendah (Graham 1991). Karena itu mereka tidak mudah tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada. Hal ini digambarkan dalam kehidupan Yesus yang menolak permintaan orang Yahudi pada zamannya untuk mengangkat Dia menjadi raja. Dia menjadi contoh sempurna dari pemimpin yang melayani, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Sebagai kesimpulan, pemimpin yang melayani atau pelayan yang memimpin adalah kebutuhan dunia ini. Tantangannya adalah ‘pengosongan diri’ karena hal itu terasa melawan natur dosa kita yang lebih suka mencari keuntungan diri sendiri (self-centered). Namun karena ada orang-orang yang terbukti mampu melakukannya, kita punya harapan bahwa dengan pertolongan dari Tuhan yang memanggil setiap kita untuk menjadi pemimpin di posisi masing-masing, ditambah dengan komitmen untuk tekun melatih diri, niscaya kita akan naik tingkat sebagai pemimpin yang pertama-tama adalah seorang pelayan yang baik.

Hal ini, tentu dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu rumah tangga.

 

* Eloy Zalukhu, MBA adalah Director of CAPSTONE Consulting & Sales Institute; Theocentric Motivator, Sales Training Expert; Leadership Coach and Corporate Culture Consultant; Penulis buku best-seller Life Success Triangle & Sales Warrior using RAVE Sales Principles. dan Narasumber tetap program Smart Motivation di radio SmartFM dan Sonora networks.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »