Ulas Masalah Perkawinan di Pulau Nias, Pastor Postinus Gulö Raih Gelar Master di Pontificia Universitas Gregoriana

Postinus Gulo | Dok. Pribadi

NIASSATU, ROMA – Salah satu dinamika yang biasanya menjadi bagian dari proses persiapan pernikahan dalam budaya masyarakat Kepulauan Nias menjadi topik tesis yang diajukan di program Master di Fakultas Hukum Gereja, Pontificia Universitas Gregoriana, Roma, Italia.Topik tersebut diajukan oleh Pastor Postinus Gulö, OSC, yang tiga tahun lalu mengikuti pendidikan lanjutan program master di universitas yang dikelola oleh para pastor dari ordo Serikat Jesuit tersebut. Dalam ujian yang berlangsung pada Jum’at (22/6/2018), Pastor Postinus berhasil mempertahankan tesisnya dan dinyatakan lulus.

“Tesis saya selesai empat bulan lebih cepat dari batas penulisan. Betapa Allah mendampingi. Saya sendiri seperti bermimpi. Perjuangan yang luar biasa membuahkan hasil,” ungkap Pastor Postinus dalam percakapan dengan redaksi Nias Satu, Jum’at (23/6/2018).

Tesisnya berjudul “L’intervento dei Genitori sul Consenso Matrimoniale: Applicazione del Canone 1057al Matrimonio Tradizionale della Tribú Nias, Indonesia”. Dalam bahasa Indonesia berarti, “Intervensi Orangtua Terhadap Kesepakatan Perkawinan: Aplikasi Kanon 1057 Terhadap Perkawinan Tradisional Suku Nias, Indonesia.”

Pastor Postinus menjelaskan, masalah utama yang diangkat dalam tesis tersebut adalah apa tanggapan dan solusi dari Gereja Katolik berdasarkan Hukum Gereja mengenai kenyataan bahwa di Pulau Nias masih sangat kuat intervensi orangtua (juga keluarga besar) terhadap kesepakatan perkawinan.

Untuk menjawab hal itu, dia memulai dengan membahas Kanon 1057 yang intinya terdiri dari lima  poin.

Pertama, kesepakatan mereka yang akan menikah menjadi sah jika dinyatakan secara legitim. Kedua, dinyatakan secara legitim jika orang yang memberikan kesepakatan mampu secara hukum gereja. Ketiga, kesepakatan mesti dari mereka yang menikah dan tidak boleh diganti oleh kuasa manusiawi apapun. Keempat, kesepakatan perkawinan yang membuat adanya perkawinan. Jika ia cacat atau tidak sah maka perkawinan juga tidak sah. Kelima, dari kanon ini, jelas bahwa intervensi orangtua mengakibatkan tidak sahnya perkawinan.

“Tetapi apakah sesederhana itu? Tentu tidak. Dalam Konsili Trento (tahun 1545-1563) sudah membahas intervensi orangtua ini. Setelah melewati berbagai perdebatan, akhirnya Bapa Konsili Trento dalam Dekret Tametsi jelas menyatakan: “Intervensi orangtua dalam perkawinan harus ditiadakan,” jelas dia.

Lalu, apa dimensi pastoral dari ajaran gereja dalam Kanon 1057?

“Saya melihat bahwa bahwa dimensi pastoral dan katekese, adalah: Pertama, umat Katolik mesti menyadari bahwa perkawinan Katolik adalah “perjanjian” dua orang (satu laki-laki dengan satu perempuan). Sebagai perjanjian, maka kesepakatan yang sah tidak bisa ditarik kembali, kekal, tak-terputuskan (unitas dan indissolubitas),” papar dia.

Kedua, lanjut dia, pemberian kesepakatan secara timbal balik antara kedua pengantin menandakan kesediaan memberikan diri satu sama lain, dalam suka duka, dalam untung dan malang. Jadi, dengan menyatakan menikah, keduanya mesti sadar bahwa mereka mesti “berjuang” agar bahtera keluarga kekal, hanya kematian yang memisahkan.

“Konsep-konsep kesadaran dalam memberikan kesepakatan ini yang mesti digelorakan oleh gereja di Pulau Nias. Masing-masing Paroki mesti memperkuat Katekese Keluarga dan Persiapan Perkawinan. Pasangan yang akan menikah mesti siap dan tahu arti perkawinan, tanggung jawab sebagai suami-istri, sebagai ayah-Ibu, tanggung jawab terhadap anak-anak yang akan dianugerahkan Allah. Kesadaran akan tanggung jawab ini mestinya sudah ada dalam diri kedua pasangan sebelum menikah. Kurang lebih itu resume tesis saya ini,” jelas dia.

Pastor Postinus menjelaskan, target akhirnya dalam perkuliahan tersebut adalah program doktoral. Namun, sesuai aturan di kampus tersebut, meski calon mahasiswa sudah memiliki gelar akademik magister sebelumnya, di universitas tersebut mensyaratkan harus mengambil lebih dulu satu program yang serupa dengan jenjang magister di Indonesia.

Adapaun gelar dari program studi tersebut adalah JCL (Juris Canonici Licentia). Artinya, Lisensiat (Master) dalam bidang Hukum Gereja. Dia mengatakan, sebenarnya Licentia itu lebih tinggi dari Master. “Tetapi Indonesia rupanya kita kurang kenal dgn istilah Licentia sehingga dianggap sama saja dan setingkat Master,” tutur dia.

“Di Indonesia memang saya sudah lulus Master juga (M.Hum). Tetapi untuk belajar Hukum Gereja tidak boleh langsung doktoral, mesti Licentia dulu.  Licentia juga ternasuk paling lama, tiga tahun dan mesti mengikuti mata kuliah sebanyak 167 kredit. Padahal untuk mengambil program master di Indonesia biasanya 44 kredit saja,” tambah dia.

Sedangkan mengenai rencana melanjutkan ke program doktoral, kata dia, akan disesuaikan dengan keputusan dari pimpinan provinsial ordonya.

Pastor Postinus mengatakan, dia adalah orang ketiga dan cuma tiga orang putra Kepulauan Nias yang pernah belajar di universitas tersebut.

“Saya orang ketiga dari Pulau Nias. Sebelumnya adalah almarhum Pastor Eligius Fau dan Bruder Hezekiel Manaö. Juga cuma kami bertiga dari Pulau Nias yang kuliah di universitas ini. Dan kebetulan kami juga belajar di fakultas yang sama, Fakultas Hukum Gereja,” terang dia.

Pastor Postinus mengatakan akan kembali ke Indonesia pada tahun ini untuk melanjutkan pelayanan. Namun, kata dia, untuk sementara dia akan kembali ke Bandung dimana pusat provinsial ordonya berada. Selanjutnya, mengikuti penempatan pelayanan dari pimpinannya.

Sebelumnya, Pastor Postinus melayani di Kabupaten Nias Barat. Dan selanjutnya, oleh lembaganya diutus untuk melanjutkan studi ke Italia. (ns1)

 

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »