KontraS: Masyarakat Harus Kritis Saat Jalani Proses Hukum

Aktivis KontraS Arif Nur Fikri | metrotvnews.com

Aktivis KontraS Arif Nur Fikri | metrotvnews.com

NIASSATU, GUNUNGSITOLI – Sudah jamak terjadi dimana masyarakat biasa menjadi korban proses hukum yang tidak adil atau bahkan rekayasa. Selain karena faktor aparat hukum tidak bekerja dengan benar, hal itu juga bisa disebabkan faktor kurang pahamnya masyarakat akan prosedur hukum sehingga tidak kritis ketika menjalani proses hukum.

Kepada Nias Satu, aktivis Kontras Arif Nur Fikri mengatakan, masyarakat harus diedukasi mengenai prosedur hukum dan hak-hak hukum mereka. Edukasi itu, terutama menjadi tanggungjawab pemerintah.

“Pihak pemerintah haruslah menjadi pihak pertama yang bertanggungjawab mengedukasi masyarakat agar tidak menjadi korban proses hukum yang tidak adil. Selain itu, para penegak hukum seperti polisi dan jaksa juga harus menjalankan fungsinya dengan benar, bukan justru malah melakukan tindakan tindakan atas nama hukum tapi melanggar hukum,” ujar Arif saat diminta tanggapannya mengenai pelajaran bagi masyarakat terkait vonis mati atas Yusman Telaumbanua usai penyerahan memori Peninjauan Kembali (PK) atas vonis mati tersebut melalui PN Gunungsitoli, Kamis (23/6/2016).

Arif mengingatkan masyarakat agar tidak takut ketika menjalani proses hukum. Masyarakat harus kritis, termasuk memanfaatkan layanan bantuan hukum sebagaimana diatur dalam UU Bantuan Hukum.

“Masyarakat juga harus kritis dan tidak perlu takut bila berhadapan dengan hukum, tapi kuncinya pemerintah harus mengedukasi masyarakatnya. Terlebih lagi sekarang sudah ada yang namanya UU Bantuan Hukum,” jelas dia.

Seperti diketahui, saat ini KontraS sedang mengadvokasi kasus Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia, dua terpidana mati atas pembunuhan tiga pembeli tokek di Pulau Nias pada 2012. Pada 2013, PN Gunungsitoli memvonis mati mereka. Kemudian, mereka ditahan di LP Tanjung Gusta, Medan, dan kemudian dipindahkan ke LP Nusakambangan pada Agustus 2013.

Namun, kemudian terungkap bahwa saat divonis mati, Yusman masih berstatus anak-anak karena usianya baru 16 tahun saat kejadian pembunuhan. Sedangkan dalam penyidikan hingga pengadilan, Yusman disebutkan berusia 19 tahun atau sudah dewasa. (Baca: Ini Kisah Terpidana Mati Yusman Telaumbanua Terpaksa Berusia 19 Tahun). 

Juga terungkap dugaan mereka mengalami kekerasan saat penyidikan dan bahwa penasihat hukum yang ditunjuk membela mereka justru mengusulkan vonis hukuman mati saat di persidangan di PN Gunungsitoli.

Dugaan pelanggaran itu ditemukan oleh KontraS dan juga disampaikan keduanya kepada Menkumham Yasonna H. Laoly saat bertemu di LP Nusakambangan pada Desember 2014. (Baca: KontraS: Proses Hukum Terpidana Mati Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia Sarat Rekayasa)

Kasus ini kemudian menarik perhatian media-media nasional dan banyak lembaga pemerintahan pusat. Di antaranya, selain Kemenkumham adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Polres Nias sendiri telah membantah melakukan kekerasan saat penyidikan termasuk manipulasi usia Yusman. (Baca: Polres Nias Bantah Rekayasa Kasus Terpidana Mati Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia). (ns1)

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »