THEOCENTRIC LEADERSHIP SERIES
Menjadi The Next Theocentric Motivator
Catatan Redaksi:
Ini adalah artikel keempat dari sembilan artikel penting tentang kepemimpinan yang ditulis oleh putra Nias yang juga dikenal sebagai Theocentric Motivator, Eloy Zalukhu. Artikel ini, seperti disebutkan Eloy kepada Redaksi, pernah dimuat di Majalah Inspirasi dan saat ini sedang dalam persiapan untuk dijadikan buku. Sebelum menjadi buku, Eloy membagikan artikel ini kepada warga Nias (tentu saja juga termasuk siapa saja pengunjung situs ini). Semoga menjadi bahan pemikiran dan mengubahkan. Selamat menikmati.
======
Satu pesan penting yang hilang dari para ‘Pembicara Populer’ yang saya sebut sebagai ‘Anthropocentric Motivator’ adalah setengah kebenaran lain tentang hidup manusia, yang secara sederhana terangkum dalam kalimat ini:
“Anda manusia berdosa, Anda tidak bisa menolong diri sendiri, Anda butuh Tuhan.”
Anthropocentric Motivator tidak akan pernah menyatakan kalimat itu karena mereka merasa bahwa ketiga kalimat diatas bersifat destruktif atau melemahkan spirit/jiwa manusia.
Karena itu fokus pengajaran mereka berputar-putar pada 1/2 kebenaran lain tentang hidup manusia, yang terangkum dalam kalimat William Ernest Henley: “I am the master of my fate, I am the captain of my soul.” Artinya “Akulah penguasa takdirku, Aku adalah kapten jiwaku.”
Theocentric Motivator adalah pembicara yang ‘terpanggil’ merangkul kedua kebenaran tersebut di atas, dalam proporsi yang tepat, yaitu:
Di satu sisi terdapat tulisan:
“Tolong kasihanilah aku ya Tuhan, orang yang berdosa ini.”
Di satu sisi lain tertulis:
“Bisa, Bisa, Pasti Bisa!”
Tapi kalimat “Bisa, bisa pasti bisa!”, bukanlah self-confident, karena Theocentric Motivator tidak mengajarkan tentang self-confident atau percaya pada diri sendiri. Bagi Theocentric Motivator, confident adalah buah dari dua hal berikut:
Pertama, pengenalan akan tujuan hidup dan talenta atau bakat khusus yang Tuhan percayakan kepada Anda yang mana hal itu akan melahirkan passion, yaitu semacam keinginan atau kesukaan dalam mengerjakan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kedua, Anda belajar dan berlatih 10X lebih tekun dan lebih baik dibandingkan manusia rata-rata.
Dua hal di atas akan menghasilkan kepercayaan diri yang benar. Hasilnya adalah masterpiece atau karya agung, yang saya yakin karya itu akan tersimpan dalam kekekalan (eternity).
Jadi, saat kalimat “Tolong kasihanilah aku ya Tuhan, orang yang berdosa ini” dan “Bisa, Bisa, Pasti Bisa!” bersatu dalam diri seseorang, itulah integrasi antara spiritual dan motivasi yang benar. Integrasi antara sisi teologis dan psikologis. Itulah Theocentric Motivator.
Jika tidak demikian, maka pengajaran yang berfokus hanya pada satu sisi saja, tidaklah baik. Saya bertemu dengan banyak orang yang mempelajari ilmu agama bahkan sampai memiliki banyak pengalaman spiritual yang baik. Sayangnya mereka tidak mempelajari dan melatih diri dalam sisi lain, khususnya yang berhubungan dengan teori perilaku manusia dan ilmu motivasi.
Mereka tidak memahami bahwa iman pun harus secara sungguh-sungguh ditambahkan kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang (2 Petrus 1:5-7). Dan bahkan, sekalipun keselamatan kita terima sebagai anugerah melalui iman (Efesus 2:8-9), namun keselamatan itu tetap harus dikerjakan dengan takut dan gentar. (Filipi 2:12). Karena pada akhirnya iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26).
Jadi, ayat-ayat di atas menjelaskan bagaimana di satu sisi ada spiritual, tetapi spiritual itu mesti termanisfestasi dalam bentuk perbuatan, yaitu buah manis, mulai dari rumah hingga pekerjaan. Pemahaman akan sisi psikologi dan ilmu motivasilah yang akan menolong manusia untuk melakukan itu. Karena motivasi adalah tentang bagaimana manusia berpikir dan melakukan yang terbaik, hingga 10X lebih baik dari manusia rata-rata, sesuai bakat dan potensi yang Tuhan percayakan kepadanya.
Namun, jauh lebih berbahaya jika seseorang hanya mengasah sisi motivasi saja. Saya sangat kuatir dan betul-betul gelisah bahwa hasil jangka pendeknya terlihat baik (populer) tetapi efek jangka panjangnya justru akan semakin menjauhkan manusia dari tujuan awal penciptaannya (missing the target or the original purpose of life).
Padahal kita sudah belajar dalam artikel sebelumnya bahwa tragedi terbesar dalam hidup seseorang bukanlah kematian, melainkan bila dia sibuk melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan sementara dia tidak pernah dilahirkan untuk kegiatan atau pekerjaan tersebut.
Saya kira inilah maksud C. S. Lewis ketika menulis: “Virtue which is unchecked is more dangerous than a blatant evil.” Artinya, suatu perbuatan atau pengajaran yang kelihatannya sebuah kebijaksanaan/kebaikan, namun jika tidak sungguh-sungguh dipikirkan ulang secara serius, justru lebih berbahaya daripada perbuatan atau pengajaran tentang kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan.
Wahyu Khusus
Namun untuk sampai pada pemahaman sekaligus keberanian untuk mengajarkan kedua sisi itu secara bersamaan dan proporsional pun ternyata bukan atas dasar pilihan manusia. Karena tidak mungkin seorang pembicara memilih untuk mau dengan serius belajar, mengalami, bergumul jatuh-bangun dalam menghidupi, mengerti dan kemudian mengajarkan sisi spiritual atau theocentric tadi.
Mengapa?
Karena sisi spiritual/Theocentric itu terdapat dalam wilayah ‘special revelation’ atau pewahyuan khusus, sehingga, bersifat sebuah panggilan (calling) khusus dari Tuhan sendiri.
Karena itu untuk mengertinya saja butuh intervensi dari sang Caller (yang memanggil), yaitu Tuhan.Tuhan harus terlebih dahulu secara khusus bekerja dalam diri orang yang dipanggil-Nya, sampai orang tersebut berubah fokus. Dari apa yang tadinya dianggap lebih penting daripada Theocentric, misalnya uang dan ketenaran (popularitas), sekarang melalui penyingkapan atau pewahyuan tadi, orang tersebut justru melihat kebanggaannya dulu menjadi tidak berarti lagi, karena kini, baginya fokus yang paling penting dan pusat segala sesuatu adalah Tuhan.
Nah, untuk sampai pada pemahaman itu, betul-betul adalah grace alone, atau anugerah Tuhan, melalui iman. Sehingga memang betul bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menyombongkan diri.
Jadi Theocentric Motivator tidak boleh sombong, karena dia sadar sekali bahwa kalau ada satu kata saja yang bisa dia katakan atau satu perbuatan baik yang bisa dia lakukan sehingga menjadi inspirasi bagi orang lain, kata dan perbuatan itu pun bukan dari hasil kerja atau perjuangannya sendiri. The first mover adalah Tuhan, sebagai yang memulai segala hal baik dalam diri orang itu (Filipi 1:6). Namun, hal baik yang sudah dimulai oleh Tuhan dalam diri orang itu haruslah direspons secara baik terus-menerus. Nah, respon itu ada di wilayah motivasi seperti yang sudah dijelaskan di atas tadi, yaitu dengan menambahkan kepada iman kebajikan, pengetahuan dan seterusnya.
Wahyu Umum
Sementara pengajaran umum tentang motivasi atau personal effectiveness adalah common revelation atau pewahyuan umum, sehingga tidak memerlukan panggilan khusus. Semua orang bisa membaca satu buku tertentu atau ikut kelas pelatihan dari motivator terkenal di Amerika, lalu menghafal prinsip-prinsipnya kemudian membuka kelas seminar dan mengajarkannya di seluruh pelosok Indonesia.
Sekilas pengajaran itu terlihat sangat baik dan mulia. Namun saya menghimbau kepada kita semua, khususnya teman-teman se-profesi, supaya tidak berhenti pada pengajaran satu sisi, tetapi secara profesional dan proporsional, disaat yang tepat menyampaikan sisi yang lain juga. Jika tidak, saya kuatir, kita bukan membawa kebaikan kepada para pembaca buku kita atau pendengar ceramah dan talkshow kita, sebaliknya membawa kerusakan yang semakin mendalam dalam jiwa manusia.
Sahabat, saya menulis ini, sungguh karena semakin lama semakin gelisah dengan buku-buku dan seminar-seminar yang semakin popular, namun ya, tadi itu hanya fokus pada satu sisi saja, yaitu kehebatan manusia semata atau antroposentrik.
Karena itu, jika Anda merasakan kegelisahan yang sama, silahkan doakan dan gumulkan. Tahun 2016, saya akan membuka kelas untuk 12 orang yang secara khusus saya mentor menjadi: “Certified Theocentric Motivator” yang mendapatkan ijin sertifikasi mengajarkan materi pelatihan yang sudah saya sampaikan di berbagai tempat selama sepuluh tahun terakhir.
Indonesia, Asia dan bahkan dunia membutuhkan lebih banyak motivator yang terpanggil mengajarkan kedua sisi kehidupan secara utuh, bertanggungjawab, proporsional dan tentu saja relevan dengan tantangan hidup, karir dan bisnis sehari-hari. Iya, kuncinya adalah relevan dengan hidup dan bisnis sehari-hari. Karena itu seorang Theocentric Motivator harus memahami core-believe atau inti imannya, bukan hanya di level kognitif tetapi juga pengalaman pribadi. Baru kemudian disempurnakan dengan pemahaman dan pangalaman bisnis yang mumpuni.
* Eloy Zalukhu, MBA adalah Director of CAPSTONE Consulting & Sales Institute; Theocentric Motivator, Sales Training Expert; Leadership Coach and Corporate Culture Consultant; Penulis buku best-seller Life Success Triangle & Sales Warrior using RAVE Sales Principles. dan Narasumber tetap program Smart Motivation di radio SmartFM dan Sonora networks.