Prof. Yoyok: Kepentingan Jangka Pendek Bisa Gagalkan Bawömataluo Jadi Warisan Dunia
NIASSATU, JAKARTA – Ketua Tim Ketua Tim Riset Universitas Gadjah Mada (UGM) – Jepang Prof. Dr. T. Yoyok Wahyu Subroto yang sedang memperjuangkan Desa Bawömataluo menjadi warisan dunia di Unesco mengapresiasi Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) yang menyetujui Desa Bawömataluo menjadi Cagar Budaya Nasional.
Menurut dia, dengan persetujuan itu, maka satu tahapan menuju warisan dunia telah selesai.
“Selamat. Semoga hal ini menjadikan motivasi Pemkab dan masyarakat Nias Selatan umumnya dan masyarakat Desa Bawömataluo khususnya agar lebih lagi dalam melestarikan, memanfaatkan dan mengembangkannya tanpa menghilangkan identitas dan kekhasan kebudayaannya. Tim UGM dan Jepang telah mendampingi selama ini ikut bangga atas pencapaian ini. Masih satu tahap lagi untuk mencapai pengakuan dunia dan semoga juga bisa tercapai,” ujar dia kepada Nias Satu, Kamis (4/8/2016).
Dia mengatakan, perjuangan tim UGM dan Jepang belum selesai untuk mengantar Desa Bawömataluo ke level dunia. “Semoga Tuhan senantias menguatkan semangat tim sampai tujuan,” ucap dia.
Dia mengatakan, khusus untuk warga Desa Bawömataluo, perlu diberikan pemahaman bahwa pencapaian ini tidak akan serta merta mengubah nasib warganya tanpa ada usaha untuk lebih mengemasnya dalam bentuk produk pariwisata yang dapat menarik kunjungan wisatawan dan mengubah kebiasaan agar desa tetap bersih dan nyaman.
“Jadi, jangan ‘menjual’ emas dengan bungkus daun pisang. Tetapi juallah pisang dibungkus kertas emas maka nilai keunggulan budaya Bawömataluo akan nampak lebih jelas dan mantap,” tutur dia.
Karena itu, dia mengharapkan agar warga desa memiliki pemikiran yang sejalan untuk merawat keaslian desa tersebut. Termasuk tidak mengubah begitu saja bangunan yang ada saat ini agar keasliannya tetap terpelihara.
Selain itu, dia juga mengingatkan agar proses memperjuangkan Desa Bawomataluo menjadi warisan dunia tersebut tidak diganggu oleh kepentingan jangka pendek para pemangku kepentingan, baik formal maupun informal.
“Sebab, hal itu dapat memperlambat atau bahkan membatalkan proses ke level tertinggi yaitu menjadi warisan budaya dunia (the world cultural heritage),” tegas dia.
Sebelumnya, dalam beberapa kesempatan, Prof. Yoyok mengingatkan bahwa jalan menuju penetapan menjadi warisan dunia masih panjang. Sangat bergantung pada kerja sama masyarakat dan juga pemerintah daerah. Bukan hanya pada penyiapan desa itu agar kembali pada kondisi aslinya, tetapi juga perlunya dukungan regulasi dan komitmen pemerintah untuk mendukung upaya pelestarian keunikan desa itu.
Prof. Yoyok juga termasuk yang menentang ide yang menginginkan agar desa tersebut dikosongkan dari warga penghuninya lalu dibangunkan sebuah perkampungan baru demi tujuan pariwisata. Menurut dia, hal tersebut bertolak belakang dengan upaya yang sedang timnya lakukan untuk memenuhi syarat sebagai warisan dunia di Unesco. (Baca: Ketua Tim Riset Desa Bawömataluo Untuk Warisan Dunia Tolak Relokasi Warga)
Menurut dia, salah satu nilai lebih desa itu sehingga menjadi fokus timnya untuk diteliti adalah karena desa itu merupakan monumen hidup (living monument) dimana bangunan-bangunan tradisional yang ada tetap ditinggali oleh penduduknya. Berbeda dengan di berbagai tempat di daerah lain dimana bangunan-bangunan tradisional yang ada, meski masih utuh berdiri dan dilestarikan, namun tidak dihuni. (Baca: Mimpi Nico Barito untuk Nias: dari Bangun Hotel Hingga Pindahkan Warga Desa Bawömataluo)
“Desa Bawömataluo itu adalah monumen hidup. Kebudayaannya itu ada karena warga yang tinggal di sana. Kalau masyarakatnya sudah tidak ada di sana, itu sudah jadi monumen mati. Keunikannya langsung hilang,” ujar dia beberapa waktu lalu usai bertemu dengan perwakilan Unesco di Jakarta. (Baca: Dr. Yoyok: Bawömataluo, Salah Satu Monumen Hidup Kebudayaan Nias Tersisa) (ns1)