Tuha Samokai Luo: Gelar Kebesaran Bagi Presiden Joko Widodo (Sebuah Usulan)

Samuel Novelman Wau | Dok. Pribadi

Oleh Samuel Novelman Wau*

Pendahuluan

Perhelatan Sail Nias 2019 tinggal hitungan hari. Panitia nasional maupun panitia lokal terus berkejaran dengan waktu mempersiapkan acara sekali setahun ini sebaik mungkin. Bagi kepulauan Nias, khususnya Kabupaten Nias Selatan, ini adalah momentum besar untuk bisa bangkit kembali setelah sekian lama industri pariwisatanya terhimpit di tengah kepungan banyak objek wisata lain di luar kepulauan Nias.

Harapan kebangkitan itu tercermin dari tema yang diusung yaitu “Nias Menuju Gerbang Destinasi Wisata Bahari Dunia.” Ini adalah kesempatan langka yang tidak selalu datang dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Sementara panitia berjibaku dengan tugasnya, di tempat berbeda ada tim kecil yang terdiri dari sejumlah tokoh adat Nias Selatan mencoba berembuk (orahu) untuk menentukan gelar yang akan disematkan kepada Presiden Joko Widodo yang diagendakan akan membuka acara Sail Nias pada tanggal 14 September 2019.

Orahua telah dilakukan namun kata sepakat belum dicapai. Diskusi alot terus berlangsung. Sehubungan dengan itu di masa injury time, orahua tulisan ini mencoba menawarkan satu pemikiran yang barangkali bisa jadi pertimbangan dalam menentukan gelar adat yang tepat bagi RI 1.

Tradisi Pemberian Gelar Kebesaran

Hampir setiap peradaban di dunia memiliki tradisi klasik berupa pemberian gelar bagi seseorang terutama pemimpin yang dianggap memiliki pengaruh, prestasi atau keunggulan jauh di atas rata-rata dibanding orang kebanyakan. Tradisi yang sama telah ada sejak beberapa generasi yang lalu diantara suku Nias khususnya kelompok masyarakat yang tinggal di bagian Selatan.

Beberapa gelar legendaris yang masih bisa diingat sampai hari ini yaitu Tuha Famaedodanö, Tuha Ilawa Lani, Solagö Niha, Sihola Luo, Siwa Lowalani dan beragam gelar lainnya yang kadang-kadang terdengar terlalu bombastis.

Dalam masyarakat adat Nias Selatan pemberian gelar ternyata tidak hanya ditujukan kepada para pemimpin tradisional (si’ulu). Sejarah mencatat bahwa pernah dalam beberapa kesempatan orang luar dianugerahkan gelar kebesaran. Yang masih hangat adalah pemberian gelar Samugö Sihönö bagi Kapolda Sumatera Utara dan gelar Tuha Samega Asi bagi KSAL Marsetio. Beberapa dekade yang lalu mantan gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar dan mantan wakil presiden Adam Malik pernah juga diberikan gelar kebesaran.

Jauh sebelum itu, orang Nias telah melakukan hal yang sama kepada orang asing bahkan kepada sosok yang dianggap bagian dari kelompok musuh sekalipun. Contohnya, gelar Silauma bagi E. E. W. Gs. Schroder, seorang controleur Belanda yang pernah bertugas di kepulauan Nias antara tahun 1906-1908.

Silauma berarti ‘tugu penanda jalan’. Jika arti gelar ini benar adanya maka boleh jadi itu berkaitan dengan karya Schroder yang pernah membangun beberapa ruas jalan selama ia bertugas di Nias. Sumber lain menjelaskan juga bahwa Silauma berarti ‘lahimba’ (babi jantan tua) yang sangat kuat dan bertaring. Sepadan dengan sebutan Laluma’i dan itu sesuai dengan profil Schroder yang pernah menjadi penguasa, representatif pemerintah Belanda di Gunungsitoli.

Kita tidak punya informasi lebih apakah gelar itu diberikan secara resmi yang ditandai dengan prosesi ritual adat dan lahugö (semacam pekikan peneguhan) sebagaimana yang biasa dilakukan kepada para si’ulu lokal? Ataukah itu hanya julukan semata?

Perlu diketahui bahwa pada masa lalu pemberian julukan merupakan sesuatu yang lumrah walau tidak seresmi gelar kebesaran. Bahkan para si’ulu yang sudah memiliki gelar kebesaran beberapa di antaranya diberikan julukan tertentu misalnya Ruyu yang bergelar Siwa si’ulubö’ö dijuluki oleh orang Belanda sebagai Solauma – mungkin sama maknanya dengan kata Silauma. Dan Lahelu’u yang bergelar Tuha Famaedodanö dikenal sebagai De Verdrijver der Hollanders (pengusir orang-orang Belanda).

Dari pihak orang Nias tradisi ini sepertinya dipengaruhi juga oleh kesulitan melafalkan nama asing sehingga mereka cenderung menyebut orang asing sesuai keunikan masing-masing misalnya Tuha Solege kepada seorang dokter bule yang selalu mengernyitkan mata ketika melihat kaca pembesar dan Tuha Salito kepada orang asing yang berbadan pendek.

Informasi ini menguatkan ide sekaligus menjadi dasar bagi penganugerahan gelar kebesaran Nias Selatan kepada orang nomor satu di negeri ini. Pesannya adalah pemberian gelar atau julukan kepada orang luar bukan hal baru bagi masyarakat Nias Selatan. Jika ditelusuri ke belakang orang Nias punya rekam jejak akan tradisi itu setidaknya sejak awal abad 20, dan boleh jadi jauh di belakang lagi para leluhur sudah melakukan hal yang sama.

Tuha Samokai Luo

Pemberian gelar kebesaran atau gelar adat kepada orang luar yang menginjakkan kaki di wilayah Nias Selatan tidak terlepas dari keramahtamahan masyarakat lokal yang senantiasa berusaha menghormati tamu-tamunya. Tentu saja tidak semua orang asing secara otomatis mendapatkan privilege ini. Hanyalah mereka yang dianggap layak dihormati, bergelimang prestasi dan punya kontribusi (sudah, sedang atau akan) bagi Ono Niha yang berhak untuk itu.

Sikap yang menghormati tamu-tamu dari luar yang diekspresikan dengan pemberian gelar patut diapresiasi namun di masa depan harus lebih selektif lagi supaya tidak berubah menjadi komoditi yang diobral habis-habisan yang akan membuat nilai gelar itu sendiri kehilangan makna atau menjadi barang murahan.

Gelar kebesaran selayaknya hanya diberikan kepada yang pantas untuk itu terlepas dari siapa pun dia. Seorang musuh selevel Schroder bila memang pantas mendapat nama kebesaran maka kita tidak perlu segan mengakuinya, sebaliknya jika ada pejabat tinggi sekalipun tetapi tidak punya kapasitas menerima anugerah adat Nias Selatan maka kita tidak perlu memaksakan diri memberikannya.

Kembali pada rencana pemberian gelar kepada Ama Gibran (sebutan khas Nias yang berarti ayahnya Gibran yaitu Joko Widodo). Dalam pertemuan para tokoh adat Nias Selatan pada tanggal 23 Agustus 2019 yang lalu di kantor bupati Nias Selatan yang beralamat di Jl. Saönigeho KM 4, ada banyak gelar kebesaran yang diusulkan. Namun sayangnya hari itu para pemangku adat belum bisa mengambil keputusan.

Rapat berjalan cukup alot. Setiap orang memberikan usul berikut argumentasinya. Semua gelar yang diusulkan baik adanya dan layak, namun sulit menentukan mana yang terbaik dan paling pantas untuk diberikan kepada seorang yang bernama Joko Widodo, presiden ke-7 Indonesia itu.

Dalam penentuan gelar ini tidak dapat dimungkiri bahwa di sana terselip harapan setiap orang supaya gelar yang dipilih bersinggungan dengan sosok leluhurnya atau identitas banua-nya. Sepertinya tarik-menarik kepentingan inilah yang membuat rapat sulit mencapai kata sepakat. Kemudian sikap yang bersikeras hendak memilih sebutan yang kedengaran bombastis, gagah perkasa dan penuh puja-puji ikut pula memperlambat kerja tim.

Rasanya presiden yang populer dipanggil Jokowi ini bukanlah orang yang haus sanjungan (te’ana sogaru lakhömi). Beliau sosok yang sederhana. Karena itu tim tidak perlu mempersulit diri sendiri dengan mencoba dan mencoba terus mencari kata yang memukau untuk Jokowi yang wong ndeso itu.

Barangkali akan jauh lebih efektif bila gelar kebesaran yang hendak disematkan kepada suami Iriana ini mengawinkan dua hal penting yaitu momentum kedatangan Jokowi dalam acara Sail Nias 2019 dengan kebutuhan mendasar masyarakat kepulauan Nias yang masih tergolong sebagai daerah tertinggal. Itu jauh lebih masuk akal dan berfaedah. Tentu kita tidak mau, pada hari penganugerahan gelar kebesaran gemuruh tempik sorak terdengar dimana-mana namun setelah Jokowi kembali ke Jakarta semuanya menguap begitu saja di udara, sementara masyarakat Nias tetap tinggal dalam kemelaratannya.

Sebaliknya diharapkan kedatangan presiden terpilih ini bisa meninggalkan sesuatu yang berarti yang membuka jalan bagi suku Nias menyongsong masa depan yang lebih cerah. Karena itu Jokowi perlu ‘diikat’ kencang melalui pemberian gelar yang tepat supaya beliau punya beban moril dalam memperhatikan kebutuhan suku di pantai barat Sumatera ini.

Pertanyaannya apa kebutuhan vital kepulauan Nias saat ini? Jawabannya adalah kecepatan dalam mobilitas. Kepulauan Nias khususnya kabupaten Nias Selatan memiliki banyak sekali potensi wisata berkelas, sebut saja pantai Sorake, desa adat Bawömataluo dan kompleks situs megalitikum di Gomo. Namun sayangnya tempat-tempat ini belum digarap secara maksimal baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, dan lagi jumlah wisatawan yang berkunjung ke sana masih sangat terbatas.

Masalahnya ada pada akses masuk. Di era yang mengedepankan kecepatan seperti sekarang ini setiap orang cenderung memilih berkunjung ke tempat yang ada penerbangan langsung tanpa harus transit di satu atau beberapa titik penghubung.

Di sinilah kelemahan kepulauan Nias. Daerah ini belum memiliki fasilitas bandara yang menghubungkan langsung wisatawan dari luar langsung ke titik lokasi. Di Gunungsitoli memang sudah ada bandara komersil dan di pulau Lasondre ada pula bandara perintis. Namun keduanya tidak banyak membantu dalam persaingan dengan daerah-daerah wisata lain seperti Bali, Danau Toba dan Labuan Bajo. Karena itu tidak ada pilihan lain di Nias Selatan tepatnya di lokasi yang dinamakan Silambo harus ada bandara baru.

Dapat dipastikan fasilitas umum ini sangat menentukan dalam menarik ribuan bahkan mungkin jutaan wisatawan setiap tahun. Dan bila impian ini tercapai dengan sendirinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat kepulauan Nias – bukan hanya Nias Selatan.

Tidak kebetulan pada tanggal 14 September 2019 nanti Jokowi akan mendarat di Silambo menggunakan helikopter, lokasi yang digadang-gadang menjadi bandara baru di kepulauan Nias. Sejarah akan mencatat Jokowi adalah orang pertama yang mendarat di lokasi itu. Doa kita langkah kecil Ama Gibran menjadi langkah besar bagi kepulauan Nias untuk melakukan lompatan besar.

Pendaratan Jokowi bisa menjadi titik balik mewujudkan bandara Silambo setelah sekian lama proyek pengerjaannya mangkrak. Kita butuh tangan kuat Jokowi untuk memerintahkan pembangungan bandara itu. Karena itu sehubungan dengan pemberian gelar kebesaran tidaklah berlebihan jika kepada presiden Jokowi dianugerahkan gelar TUHA SAMOKAI LUO.

Kata “Tuha” merujuk pada kedudukan tertinggi sekaligus sumber atau penyebab pertama. Ini sesuai dengan posisi Jokowi yang adalah penguasa di negeri ini dan punya otoritas memerintahkan pembangungan bandara Silambo. Sedangkan “Samokai” berkaitan dengan pendaratan perdana Jokowi di Silambo, yang berarti pembuka, perintis.

Dan kata “Luo” secara literal berarti matahari. Tetapi, juga bisa bermakna sebagai keberadaan yang di tempat yang lebih tinggi. Luo juga bermakna sebagai penerang, penanda mula kehidupan baru. Jadi, harapannya, dengan kedatangan Jokowi ini, menjadi penanda kehidupan baru bagi masyarakat Nias yang statusnya tertinggal dan termiskin.

Penutup

Sail Nias 2019 bagai tome siagö ewali (tamu yang sudah berdiri di halaman pemukiman siap masuk ke dalam rumah). Panitia harus berpacu dengan waktu. Masyarakat kepulauan Nias harus bahu membahu menyambut tamu-tamu dari luar terutama orang nomor satu di negeri ini.

Mari kita menunjukkan nilai-nilai luhur kita. Perlakukan setiap orang dengan ramah. Kita berharap perhelatan Sail Nias membawa dampak positif bagi masyarakat.

Dan terutama semoga kedatangan Tuha Samokai Luo benar-benar menjadi momentum membuka pintu gerbang kepulauan Nias selebar-lebarnya dengan hadirnya bandara Silambo demi “Nias Menuju Gerbang Destinasi Wisata Bahari Dunia” dan kehidupan baru yang lebih baik bagi masyarakat Kepulauan Nias dengan terlepas dari predikat tertinggal dan termiskin. (ns1)

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya Nias.

About the Author

Leave a Reply

*

Translate »